Welcome....

Selamat datang teman-teman. Saya Paulus yang biasa dipanggil PaO. Saya rindu sekali untuk membuat artikel. Disinilah saya menuangkan semua hasil pemikiran. Saya beri judul pada Blog ini, Reflection Results. Ini semua hasil pemikiran, ide, refleksi dari saya sendiri. Apabila ada kata-kata atau kalimat dari orang lain, saya berikan footnote atau resensi tulisan. Saya yakin anda mendapat pelajaran yang baik pada saat anda membacanya. Bila teman-teman sedang ada waktu, boleh sekalian dikasih komentarnya dalam setiap artikel yang dibaca. Bila ada yang tidak setuju juga tidak masalah :D all praise to Jesus! praise for ever!!

Selamat Membaca. Tuhan Yesus Kristus Memberkati.

Penulis : Pdp. Paulus Igunata Sutedjo, M.Th.

Labels

Friday, September 11, 2015

Belajar dari Kitab Hagai 7: Di Balik Ketaatan - Hagai 2:16-24

Hagai mengingatkan kembali kepada para imam akan keadaan mereka dan orang-orang Yahudi saat pundi-pundi mereka berlubang. Saat itu mereka bekerja keras, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan kerja kerasnya. Namun saat mereka mulai menaati apa yang dikatakan Hagai, sehingga mereka mulai meletakkan dasar Bait Suci, Hagai berkata bahwa Tuhan berjanji akan memberi berkat! Tidak berhenti sampai di situ, dalam ayat-ayat yang sudah kita baca Tuhan pun juga berjanji kepada Zerubabel sebagai bupati Yehuda yang notabene seorang pemimpin saat itu, bahwa Tuhan akan berperang bagi orang-orang Yehuda dan akan menyelamatkan mereka dari musuh-musuh, sama seperti Tuhan telah menjungkirbalikkan kereta perang Mesir di Laut Teberau lalu (Kel. 14:26-28). 

Secara harfiah kata taat itu sendiri artinya senantiasa tunduk. Jadi orang yang taat kepada Tuhan adalah orang yang hidupnya menurut segala yang diperintahkan Tuhan melalui firmanNya. Wujud dari hidup dalam ketaatan kepada Tuhan adalah adanya sinergis antara apa yang diajarkan dalam kebenaran firman Tuhan dengan tindakan nyata. Artinya, tindakan nyata keseharian harus mencerminkan dari apa yang diajarkan oleh firman Tuhan! Wujud ketaatan orang-orang Yehuda adalah meletakkan dasar Bait Suci. Hal ini membuktikan, bahwa mereka pada akhirnya tidak hanya sekadar mendengar firman Tuhan dari Hagai semata, tetapi akhirnya mereka mewujudkan melalui tindakan nyata.

Belajar dari Kitab Hagai ke-3 yang lalu kita sudah belajar tentang ketaatan, khusus hari ini kita akan belajar tentang "hadiah" di balik ketaatan. Orang-orang Yehuda saat itu dijanjikan berkat dan perlindungan dari Tuhan. Tentu mereka tidak akan mendapatkannya, jika mereka masih berenang dalam kolam lumpur ketidaktaatan! Masalah yang sering terjadi adalah banyak orang ingin mendapatkan "hadiahnya", tetapi tidak mau menaati firmanNya. Sama saja seperti orang yang ingin makan, tetapi tidak mau bekerja. Tidak akan ada gunanya! 

Ketaatan sebenarnya akan menjaga dan melindungi kita dari hal-hal yang kita sendiri tidak inginkan. Misalkan, seorang anak yang diperingati orang tuanya supaya jangan pulang sampai malam jika bermain bersama teman karena daerah rumah temannya itu cukup rawan. Ketaatan akan menjaga anak ini dari niat pelaku kejahatan. Contoh lain, seorang karyawan dinasihati untuk bekerja dengan memberikan kualitas yang terbaik oleh atasannya. Ketaatan karyawan ini akan melindungi dirinya sendiri dari pemecatan atau PHK, bahkan jika pekerjaannya berkenan di mata atasannya, mungkin saja ia akan mendapatkan bonus!

Jika di balik ketaatan kepada atasan atau orang tua saja kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dan butuhkan, apalagi jika kita taat kepada Tuhan! Tentu Tuhan sudah menyediakan berkat khusus untuk orang-orang yang taat kepadaNya.


Ketaatan yang disertai dengan tindakan nyata adalah 
bukti dari kesiapan diri dalam menerima berkat.

Thursday, September 10, 2015

Belajar dari Kitab Hagai 6: Menularkan Kekudusan - Hagai 2:11-15

Bagi orang Yahudi, aturan-aturan untuk kekudusan dalam ritual dan kurban sangat penting di dalam ibadah dan kebudayaannya mereka sendiri. Contoh-contoh yang dikemukakan Hagai dalam ayat-ayat yang sudah kita baca hari ini adalah sebuah pengajaran, sekaligus peringatan kepada para Imam, bahwa jauh lebih mudah mewariskan atau menularkan kenajisan daripada kekudusan. Mereka sedang berusaha untuk membangun kembali Bait Suci, tentu dalam prosesnya itu tidak mudah karena ada dari mereka yang najis, sehingga orang-orang yang najis ini akan dengan mudahnya menularkan kenajisan tersebut pada barang-barang atau benda-benda yang disentuh. Alhasil, barang dan benda yang disentuh itu juga menjadi najis dan tidak layak untuk dijadikan satu bagian dalam Bait Suci tersebut. Untuk itu pembangunan Bait Suci ini terancam oleh ikut sertanya orang-orang yang najis ini.  

Natur manusia dalam kehidupan sehari-hari memang seperti itu, jauh lebih mudah dan cepat menularkan hal yang tidak baik daripada menularkan yang baik. Suatu hari dekat rumah saya, pernah saya mendengar seorang ayah yang sedang berbicara kasar kepada anaknya. Tidak lama kemudian anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar itu membalas dengan kata-kata yang kasar juga kepada ayahnya. Hal ini membuktikan, bahwa hal-hal yang tidak baik itu memang lebih cepat ditularkan.  

Sebagai orang percaya sudah barang tentu kita harus dapat menularkan kekudusan bukan sebaliknya, sehingga yang kita tularkan kepada orang lain adalah hal-hal yang berkenan di mata Tuhan, bukan hal-hal yang sifatnya "najis" di mata Tuhan. Sehingga nama Tuhan dapat dimuliakan lewat hidup kita. Tentunya sebelum menularkan kekudusan itu sendiri, kita harus mengejar kekudusan terlebih dahulu, karena bagaimana kita mau menularkan hal yang kudus jika kita sendiri saja belum menjadi kudus.

Dalam Ibr. 12:14 ditulis bahwa kita harus mengejar kekudusan. Mengejar adalah kata kerja, jadi ada usaha yang harus dilakukan supaya kita bisa hidup kudus. Mengejar kekudusan dilakukan hari demi hari dengan tekun ketika kita menyerahkan hidup dalam ketaatan kepada perintah Tuhan dan berusaha menjauhkan diri dari hidup lama yang fokusnya hanya memuaskan diri sendiri. Tentu tidak mudah untuk melakukan hal ini, dibutuhkan pengendalian diri supaya kita dapat melakukan suatu hal yang berkenan di mata Tuhan. Jika kita tidak mampu melakukan hal ini sendiran, kita dapat meminta tolong kepada mentor rohani untuk menjadi pembimbing kita dalam rangka mengejar kekudusan tersebut. Butuh proses yang sangat panjang, tetapi jika ada kemauan maka jalan pasti terbuka! Jika kita sudah terbiasa hidup kudus, maka tanpa disadari kita juga sudah menularkan kekudusan tersebut kepada orang lain, dan kita sudah menjadi teladan yang baik bagi orang-orang di sekitar kita.  



Menularkan ketidakkudusan itu seperti berjalan di tanah yang landai, 
sedangkan menularkan kekudusan itu seperti mendaki.

Wednesday, September 9, 2015

Belajar dari Kitab Hagai 5: Gadol & Shalom - Hagai 2:10



Hagai berkata, bahwa Bait Suci yang akan selesai dibangun nanti, kemegahannya akan mengalahkan kemegahan bangunan yang semula. Kata "kemegahannya" ini dalam bahasa Ibrani ditulis gâdôl yang menjelaskan, bahwa Bait Suci ini akan lebih besar, tinggi, panjang, keras, kuat, dan hal yang dapat dibanggakan! Orang-orang yang melihat bangunan itu nantinya akan tercengang dan takjub. Alhasil, bangunan ini selain dapat digunakan untuk beribadah sebagai fungsi utamanya, bangunan ini juga dapat dibanggakan oleh orang-orang Yahudi. Tentunya, suatu hal yang membanggakan bagi orang-orang yang membangun Bait Suci ini, jika kemegahannya melebihi bangunan sebelumnya. Mereka dapat menceritakan segala usaha dan kerja kerasnya dalam rangka membangun kembali Bait Suci itu kepada anak cucunya di kemudian hari, karena mereka mengambil bagian saat pembangunan bait suci itu berlangsung. Tetapi jika yang diceritakan hanya kemegahan semata, maka fokusnya hanya kepada bangunan fisiknya. Berarti yang dibanggakan adalah hal-hal yang hanya bisa dilihat mata, padahal ada yang lebih penting daripada hanya sekadar yang terlihat itu, yakni hal yang tidak nampak!  

Dalam ayat yang sudah kita baca, juga ditulis bahwa Tuhan akan memberi damai sejahtera! Kata "damai sejahtera" dalam bahasa Ibraninya ditulis shâlôm, yang mengandung makna aman, baik, bahagia, ramah, kesejahteraan, kesehatan, kemakmuran, serta kedamaian. Semua hal-hal ini berkaitan dengan hal-hal yang tidak nampak atau hal-hal yang tidak dapat dilihat oleh mata namun dapat dirasakan. Jadi bangunan yang megah itu pun harus diisi oleh suasana yang baik juga. Percuma saja, jika Bait Suci itu hanya dibanggakan dari kemegahan bangunan fisiknya semata, jika tidak ada shalom di dalamnya. Justru bangunan itu akan semakin "wah" jika suasananya juga "wah".

Setiap manusia memang sudah naturnya lebih memikirkan hal yang nampak, sehingga melupakan hal-hal yang tidak nampak dalam hal apapun juga. Sebenarnya memerhatikan hal-hal yang nampak itu tidak salah. Misalkan, memotong rambut untuk nampak lebih fresh, berdandan untuk nampak lebih cantik, menghias bangunan untuk nampak lebih bagus, dll. Tetapi ada hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu memerhatikan hal-hal yang tidak nampak. Seperti memperbaiki karakter yang buruk, bertutur kata yang santun, membawa rasa damai dalam rumah, dll.

Jika kita sudah bernaung dalam satu gereja yang sudah memiliki bangunan tetap, maka bersyukurlah untuk hal tersebut. Terlebih lagi jika bangunan gereja itu megah! Namun jangan pernah lupa untuk mengisi gereja itu dengan shalom. Sehingga gereja tersebut membawa kedamaian bagi orang-orang yang berjemaat di dalamnya dan nama Tuhan dimuliakan, tentunya itu semua harus dimulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu.


Jika hanya membanggakan kemegahan Rumah Tuhan, 
berarti kita sedang mengoyakkan kedamaian dalam Rumah Tuhan.

Tuesday, September 8, 2015

Belajar dari Kitab Hagai 4: Kesatuan Hati - Hagai 2:1-6



Hagai mendapat tugas dari Tuhan untuk mendorong bangsa Yahudi membangun kembali Bait Suci, supaya mereka dapat melihat dan menggunakan dari kemegahan bangunan itu seperti semula. Karena saat itu bangunan tersebut sudah menjadi reruntuhan dan keadaannya sungguh menyayat hati. Mengembalikan bangunan yang megah itu seperti semula tentu tidak semudah yang dikatakan. Bahkan bila ingin membangun lebih megah daripada sebelumnya, mereka harus lebih bekerja keras serta memiliki komitmen yang kuat, supaya tidak mudah goyah sehingga pembangunan itu tidak berhenti di tengah jalan.

Untuk itu, Hagai berkata kuatkanlah hatimu kepada bangsa Yahudi. Hagai menguatkan hati mereka bukan hanya kepada pemimpinnya, atau imam besarnya saja, tetapi Hagai juga menguatkan hati seluruh bangsa Yahudi. Hagai juga berjanji bahwa Tuhan akan menyertai sehingga semangat mereka tidak hanya di awal saja, tetapi mereka juga dapat semangat sampai Bait Suci itu selesai dibangun. 

Pertanyaannya adalah, mengapa Hagai harus repot-repot menguatkan hati pemimpinnya, juga rakyatnya? Bukankah jika ingin memberi semangat, Hagai hanya perlu memberi semangat kepada pemimpinnya, sehingga pemimpinnya itu yang kemudian meneruskan semangat tersebut kepada rakyatnya? Kita perlu mengingat kembali, bahwa rakyatnya atau orang-orang Yahudi ini juga menunda pembangunan Bait Suci, karena mereka lebih fokus terhadap rumah pribadinya daripada Rumah Tuhan. Untuk itu Hagai juga menguatkan hati mereka untuk membangun kembali Bait Suci, sehingga terbentuklah kesatuan hati di antara pemimpin, dan dengan orang yang dipimpin. Jika tidak ada kesatuan di antara mereka, mungkin saja Bait Suci itu tidak akan pernah dibangun kembali.

Di dalam setiap organisasi sekuler ataupun organisasi rohani, pasti ada pimpinan dan juga ada bawahan. Dibutuhkan kesatuan hati supaya tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud. Jika yang semangat saja hanya pimpinan, sementara anak buahnya tidak ada niat sama sekali untuk meraih tujuan tersebut, maka sia-sialah perjuangan, pekerjaan, serta semangat sang pimpinan. Untuk itu kesatuan hati harus dibentuk dalam organisasi tersebut.

Berarti setiap elemen dalam suatu organisasi, masing-masing memiliki tugas tanggung jawabnya sendiri. Setiap elemen tersebut harus memiliki kesatuan hati dalam menuaikan tugas tanggung jawabnya. Jika ada satu orang saja yang sudah menyerah atau putus asa, maka "roda" dalam organisasi itu akan berjalan lambat. Alangkah baiknya, jika kawan-kawan sekitarnya dapat memberi semangat kepada orang yang menyerah itu, sehingga "roda" dalam organisasi tersebut dapat berputar kembali untuk meraih suatu tujuan yang sudah ditetapkan bersama-sama. Akhirnya, hasilnya pun juga dapat dinikmati bersama-sama.



Satu lidi akan mudah dipatahkan, 
tetapi kekuatan kesatuan itu seperti seribu lidi yang sulit dipatahkan!

Monday, September 7, 2015

Belajar dari Kitab Hagai 3: Obey & Action - Hagai 1:12-14



Kata "mendengarkan" dalam Hag. 1:12 dalam bahasa Inggris versi King James Version ditulis obeyed yang artinya mematuhi. Dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Ibrani ditulis shâma‛ yang secara harfiah artinya mendengarkan dengan cerdas. Kata ini juga biasa digunakan untuk menerangkan tentang perhatian dan ketaatan seseorang. Jadi tidak sekadar hanya mendengar, namun juga memerhatikan dengan saksama. Berarti Zerubabel, Yosua, dan orang-orang Yahudi menaati perintah Tuhan melalui Hagai. Buah ketekunan Hagai dalam menyampaikan firman Tuhan kepada orang-orang Yahudi sudah ia dapat nikmati hasilnya saat itu. Alhasil, mereka tidak hanya menaati perintah Tuhan, tetapi mereka juga menjadi takut akan Tuhan. Ketaatan mereka disertai dengan tindakan, buktinya dalam Hag. 1:14 ditulis bahwa bangsa Yahudi mulai membangun Rumah Tuhan, berarti ada tindakan! 

Mendengar perintah memang mudah, namun menaati perintah itu yang sulit dilakukan. Sebagai orang percaya, beribadah rutin setiap minggu ke gereja bukanlah suatu hal yang sulit dilakukan. Untuk mendengar setiap firman Tuhan yang disampaikan pun bukanlah suatu hal yang sulit. Tetapi melakukan setiap firman Tuhan yang disampaikan butuh usaha yang sangat keras. Karena saat kita melakukan firman Tuhan itu berarti kita sedang mengaplikasikan ke dalam kehidupan kita sendiri. 

Misalkan kita sudah mendengar firman Tuhan tentang mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Saat mendengar firman Tuhan itu, paling hanya membutuhkan waktu 45 menit atau 1 jam saja. Namun saat mengaplikasikan ke dalam kehidupan kita sendiri, membutuhkan waktu berhari-hari, bahkan seharusnya kita melakukan hal tersebut sampai akhir kehidupan kita di bumi ini. 

Yesus pernah memberi perumpamaan tentang hal ini dalam Matius 21:28-31. Ada seorang ayah yang memiliki dua anak laki-laki. Ia pergi kepada yang sulung dan memberi perintah untuk bekerja dalam kebun anggur. Anak ini hanya mendengar saja dan berkata " ... baik, bapa ... ", tetapi anak ini tidak melakukan perintah tersebut. Anak yang kedua diberi perintah yang sama, lalu anak itu tidak mau, kemudian ia menyesal dan akhirnya ia melakukan perintah ayahnya. Firman Tuhan dengan tegas mengatakan bahwa yang melakukan kehendak ayahnya adalah anak yang kedua. Jadi ketaatan itu dilihat dari tindakannya, jika ia tidak melakukannya berarti ia hanya mendengar. 

Mungkin saat ini posisi kita sama seperti orang Yahudi dan anak yang kedua dalam perumpamaan Yesus, yaitu sama-sama tidak mau melakukan perintah Tuhan. Namun jika kita masih diberi kesempatan untuk hidup sampai hari ini, berarti pintu pertobatan untuk melakukan kehendak Tuhan masih terbuka lebar. Untuk itu kita harus belajar menaati setiap perintah firman Tuhan yang disampaikan kepada kita.


Ketaatan bukanlah ketaatan yang sesungguhnya 
jika tidak disertai dengan tindakan.

Saturday, September 5, 2015

Belajar dari Kitab Hagai 2: Pundi Yang Berlubang - Hagai 1:6-8



Bekerja keras, namun hasilnya sedikit. Tampaknya peribahasa berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian; yang artinya bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, tidak dialami oleh orang-orang Yahudi saat itu. Logikanya orang yang bekerja keras, penghasilannya pun harus setimpal dengan kerja kerasnya, tetapi Hagai berkata bahwa orang-orang Yahudi ini membawa pulang dengan hasil sedikit. Jika demikian, berarti ada yang salah dengan orang-orang Yahudi saat itu. Mereka bekerja tetapi hasilnya seperti ditaruh dalam pundi yang berlubang, sehingga sekeras apapun usahanya, mereka tetap berkekurangan dan tidak pernah cukup. Hagai memperingati orang-orang Yahudi untuk memerhatikan keadaan mereka, karena keadaan mereka terbilang ironis. 

Pundi yang berlubang disebabkan oleh keegoisan mereka yang lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri dibandingkan dengan kepentingan Tuhan, yaitu membangun kembali Bait Suci. Untuk itu Hagai berusaha mendorong mereka cepat-cepat membangun Bait Suci tersebut, supaya Tuhan berkenan kepada mereka dan menyatakan kemuliaanNya kepada mereka. 

Dalam kehidupan ini, kita sering berlaku seperti orang-orang Yahudi saat itu, lebih fokus terhadap kepentingan diri, sehingga tanpa disadari kepentingan diri itu telah merobek pundi-pundi penghasilan kita sendiri. Akibat ini disebabkan oleh perbuatan kita sendiri, tetapi kerap kali kita menyalahkan orang lain, bahkan dalam tahap yang lebih parah ada orang-orang percaya yang menyalahkan Tuhan atas kekurangan finansial yang dialaminya.
Untuk itu kita perlu menambal pundi yang berlubang, supaya kita dapat menikmati hasil kerja keras kita sendiri. Paling tidak ada dua tahap untuk menambal pundi yang berlubang itu, yaitu mengevaluasi diri, kemudian mengakui kesalahan di hadapan Tuhan.

Mengevaluasi diri berarti memberikan penilaian sejujur-jujurnya terhadap diri sendiri. Untuk itu kita perlu mengingat kembali hal-hal yang berkaitan dengan masalah itu, karena akibat kekurangan finansial bisa disebabkan oleh banyak hal. Penyebab pertama bisa saja karena kita malas bekerja, penyebab kedua bisa saja karena tidak memberikan kinerja yang terbaik, penyebab ketiga mungkin saja karena Tuhan tidak berkenan terhadap pekerjaan kita, karena kita terlalu fokus terhadap kepentingan pribadi dibanding dengan kepentingan Sang Pemberi berkat itu sendiri. 

Jika memang masalahnya adalah penyebab ketiga, kita perlu melakukan tahap berikutnya, yaitu mengakui kesalahan tersebut di hadapan Tuhan. Dibutuhkan hati yang tulus untuk mau mengakui atas kesalahan yang pernah diperbuat. Jika dengan hati tulus kita mau mengakui kesalahan di hadapan Tuhan, serta tetap fokus kepada Tuhan Sang Pemberi berkat, niscaya pundi-pundi penghasilan kita akan pulih dan penuh kembali.    



Salah satu kebodohan orang percaya adalah 
menyalahkan orang lain di saat pundi pribadi berlubang.

Friday, September 4, 2015

Belajar dari Kitab Hagai: Rumah Tuhan Vs Rumah Pribadi - Hagai 1:2-4; 9



Hagai adalah seorang nabi yang diutus Tuhan kepada orang Yahudi sesudah mereka kembali ke Yehuda dari pembuangan di Babel. Hagai tidak kenal lelah untuk mendorong orang-orang Yahudi membangun kembali Bait Suci di Yerusalem. Sudah hampir sekitar 20 tahun umat Tuhan kembali ke Yerusalem dari pembuangan di Babel. Namun mereka masih menunda, dan belum mau membangun kembali Bait Suci. Peran Hagai dalam hal ini sangat penting, karena ia harus memperingatkan orang-orang Yahudi, bahwa alasan mereka untuk tidak langsung membangun Bait Suci telah menimbulkan masa-masa sulit yang tidak akan berakhir sampai mereka mulai bekerja.

Hagai memberi pesan terhadap orang-orang Yahudi untuk mengalahkan keegoisan dalam diri, karena kenyataannya orang-orang Yahudi ini ternyata lebih mementingkan kebutuhan pribadi mereka sendiri. Buktinya mereka lebih memilih memapani rumahnya sendiri terlebih dahulu. Sementara, Rumah Tuhan itu dibiarkan menjadi reruntuhan, seakan-akan mereka tidak peduli dengan Rumah Tuhan. 

Hagai menegaskan, bahwa mereka ini telah sibuk dengan urusannya masing-masing, sehingga melupakan suatu hal yang sangat penting, yaitu membangun kembali Bait Suci. Untuk itu, Hagai berusaha menasihati dan mendorong orang-orang Yahudi untuk lebih mementingkan Rumah Tuhan daripada rumah pribadi. 

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan membangun rumah sendiri, hanya saja jika mendahulukan kepentingan pribadi dan menomorduakan kepentingan Tuhan, berarti kita telah menomorduakan Tuhan di dalam kehidupan kita. Jelas sekali hal ini adalah salah satu bentuk atau wujud keegoisan penduduk Yahudi saat itu. Mereka lupa, siapa sebenarnya yang harus didahulukan, karena mereka telah dikuasai oleh keegoisan.

Jika kira renungkan hal ini, kita mendapatkan suatu pelajaran yang penting. Membangun kembali Bait Suci bukan sekadar membangun suatu bangunan fisik semata. Lebih daripada itu, membangun Bait Suci dalam kisah di atas bisa diartikan memprioritaskan kehendak Tuhan, karena memang Tuhan tidak ingin dinomorduakan! Itulah sebabnya dalam sepuluh perintah Tuhan juga dikatakan, bahwa jangan ada Tuhan lain, selain Bapa di Surga. Dengan mendahulukan rumah pribadi dibandingkan dengan Rumah Tuhan, berarti kita sudah membuat Tuhan yang lain, yaitu keinginan pribadi.

Disadari atau tidak, kerap kali keegoisan atau keinginan pribadi telah menjadi Tuhan dalam kehidupan kita. Alhasil, kita melupakan Tuhan di dalam kehidupan ini. Hari ini kita belajar untuk lebih mementingkan kepentingan Tuhan dari apapun juga. Kita harus meluluhlantakkan keegoisan dalam diri, supaya kita semakin sadar betapa kecilnya kita di hadapan Tuhan dan betapa perlunya kita bersandar penuh kepadaNya.


Damainya Surga, dan berkat yang melimpah akan nyata 
saat kita membunuh keegoisan dalam diri!