Welcome....

Selamat datang teman-teman. Saya Paulus yang biasa dipanggil PaO. Saya rindu sekali untuk membuat artikel. Disinilah saya menuangkan semua hasil pemikiran. Saya beri judul pada Blog ini, Reflection Results. Ini semua hasil pemikiran, ide, refleksi dari saya sendiri. Apabila ada kata-kata atau kalimat dari orang lain, saya berikan footnote atau resensi tulisan. Saya yakin anda mendapat pelajaran yang baik pada saat anda membacanya. Bila teman-teman sedang ada waktu, boleh sekalian dikasih komentarnya dalam setiap artikel yang dibaca. Bila ada yang tidak setuju juga tidak masalah :D all praise to Jesus! praise for ever!!

Selamat Membaca. Tuhan Yesus Kristus Memberkati.

Penulis : Pdp. Paulus Igunata Sutedjo, M.Th.

Labels

Thursday, August 16, 2012

TAFSIR KITAB PENGKHOTBAH 3:1-22



A.  Interlinear.
ITB
KJV
ASV
HOT
1  Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
1  To every thing there is a season, and a time to every purpose under the heaven:
1  For everything there is a season, and a time for every purpose under heaven:
לכל זמן ועת לכל־חפץ תחת השׁמים׃
2  Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
2  A time to be born, and a time to die; a time to plant, and a time to pluck up that which is planted;
2  a time to be born, and a time to die; a time to plant, and a time to pluck up that which is planted;
עת ללדת ועת למות עת לטעת ועת לעקור נטוע׃
3  ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;
3  A time to kill, and a time to heal; a time to break down, and a time to build up;
3  a time to kill, and a time to heal; a time to break down, and a time to build up;
עת להרוג ועת לרפוא עת לפרוץ ועת לבנות׃
4  ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;
4  A time to weep, and a time to laugh; a time to mourn, and a time to dance;
4  a time to weep, and a time to laugh; a time to mourn, and a time to dance;
עת לבכות ועת לשׂחוק עת ספוד ועת רקוד׃
5  ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
5  A time to cast away stones, and a time to gather stones together; a time to embrace, and a time to refrain from embracing;
5  a time to cast away stones, and a time to gather stones together; a time to embrace, and a time to refrain from embracing;
עת להשׁליך אבנים ועת כנוס אבנים עת לחבוק ועת לרחק מחבק׃
6  ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
6  A time to get, and a time to lose; a time to keep, and a time to cast away;
6  a time to seek, and a time to lose; a time to keep, and a time to cast away;
עת לבקשׁ ועת לאבד עת לשׁמור ועת להשׁליך׃
7  ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
7  A time to rend, and a time to sew; a time to keep silence, and a time to speak;
7  a time to rend, and a time to sew; a time to keep silence, and a time to speak;
עת לקרוע ועת לתפור עת לחשׁות ועת לדבר׃
8  ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.
8  A time to love, and a time to hate; a time of war, and a time of peace.
8  a time to love, and a time to hate; a time for war, and a time for peace.
עת לאהב ועת לשׂנא עת מלחמה ועת שׁלום׃
9  Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?
9  What profit hath he that worketh in that wherein he laboureth?
9  What profit hath he that worketh in that wherein he laboreth?
מה־יתרון העושׂה באשׁר הוא עמל׃




10  Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.
10  I have seen the travail, which God hath given to the sons of men to be exercised in it.
10  I have seen the travail which God hath given to the sons of men to be exercised therewith.
10  ראיתי את־הענין אשׁר נתן אלהים לבני האדם לענות בו׃
11  Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.
11  He hath made every thing beautiful in his time: also he hath set the world in their heart, so that no man can find out the work that God maketh from the beginning to the end.
11  He hath made everything beautiful in its time: also he hath set eternity in their heart, yet so that man cannot find out the work that God hath done from the beginning even to the end.
11  את־הכל עשׂה יפה בעתו גם את־העלם נתן בלבם מבלי אשׁר לא־ימצא האדם את־המעשׂה אשׁר־עשׂה האלהים מראשׁ ועד־סוף׃
12  Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka.
12  I know that there is no good in them, but for a man to rejoice, and to do good in his life.
12  I know that there is nothing better for them, than to rejoice, and to do good so long as they live.
12  ידעתי כי אין טוב בם כי אם־לשׂמוח ולעשׂות טוב בחייו׃
13  Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.
13  And also that every man should eat and drink, and enjoy the good of all his labour, it is the gift of God.
13  And also that every man should eat and drink, and enjoy good in all his labor, is the gift of God.
13  וגם כל־האדם שׁיאכל ושׁתה וראה טוב בכל־עמלו מתת אלהים היא׃
14  Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya; itu tak dapat ditambah dan tak dapat dikurangi; Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia.
14  I know that, whatsoever God doeth, it shall be for ever: nothing can be put to it, nor any thing taken from it: and God doeth it, that men should fear before him.
14  I know that, whatsoever God doeth, it shall be for ever: nothing can be put to it, nor anything taken from it; and God hath done it, that men should fear before him.
14  ידעתי כי כל־אשׁר יעשׂה האלהים הוא יהיה לעולם עליו אין להוסיף וממנו אין לגרע והאלהים עשׂה שׁיראו מלפניו׃
15  Yang sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Allah mencari yang sudah lalu.
15  That which hath been is now; and that which is to be hath already been; and God requireth that which is past.
15  That which is hath been long ago; and that which is to be hath long ago been: and God seeketh again that which is passed away.
15  מה־שׁהיה כבר הוא ואשׁר להיות כבר היה והאלהים יבקשׁ את־נרדף׃
16  Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situpun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situpun terdapat ketidakadilan.
16  And moreover I saw under the sun the place of judgment, that wickedness was there; and the place of righteousness, that iniquity was there.
16  And moreover I saw under the sun, in the place of justice, that wickedness was there; and in the place of righteousness, that wickedness was there.
16  ועוד ראיתי תחת השׁמשׁ מקום המשׁפט שׁמה הרשׁע ומקום הצדק שׁמה הרשׁע׃
17  Berkatalah aku dalam hati: "Allah akan mengadili baik orang yang benar maupun yang tidak adil, karena untuk segala hal dan segala pekerjaan ada waktunya."
17  I said in mine heart, God shall judge the righteous and the wicked: for there is a time there for every purpose and for every work.
17  I said in my heart, God will judge the righteous and the wicked; for there is a time there for every purpose and for every work.
17  אמרתי אני בלבי את־הצדיק ואת־הרשׁע ישׁפט האלהים כי־עת לכל־חפץ ועל כל־המעשׂה שׁם׃





18  Tentang anak-anak manusia aku berkata dalam hati: "Allah hendak menguji mereka dan memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka hanyalah binatang."
18  I said in mine heart concerning the estate of the sons of men, that God might manifest them, and that they might see that they themselves are beasts.
18  I said in my heart, It is because of the sons of men, that God may prove them, and that they may see that they themselves are but as beasts.
18  אמרתי אני בלבי על־דברת בני האדם לברם האלהים ולראות שׁהם־בהמה המה להם׃
19  Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia.
19  For that which befalleth the sons of men befalleth beasts; even one thing befalleth them: as the one dieth, so dieth the other; yea, they have all one breath; so that a man hath no preeminence above a beast: for all is vanity.
19  For that which befalleth the sons of men befalleth beasts; even one thing befalleth them: as the one dieth, so dieth the other; yea, they have all one breath; and man hath no preeminence above the beasts: for all is vanity.
19  כי מקרה בני־האדם ומקרה הבהמה ומקרה אחד להם כמות זה כן מות זה ורוח אחד לכל ומותר האדם מן־הבהמה אין כי הכל הבל׃
20  Kedua-duanya menuju satu tempat; kedua-duanya terjadi dari debu dan kedua-duanya kembali kepada debu.
20  All go unto one place; all are of the dust, and all turn to dust again.
20  All go unto one place; all are of the dust, and all turn to dust again.
20  הכל הולך אל־מקום אחד הכל היה מן־העפר והכל שׁב אל־העפר׃
21  Siapakah yang mengetahui, apakah nafas manusia naik ke atas dan nafas binatang turun ke bawah bumi.
21  Who knoweth the spirit of man that goeth upward, and the spirit of the beast that goeth downward to the earth?
21  Who knoweth the spirit of man, whether it goeth upward, and the spirit of the beast, whether it goeth downward to the earth?
21  מי יודע רוח בני האדם העלה היא למעלה ורוח הבהמה הירדת היא למטה לארץ׃
22  Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu adalah bahagiannya. Karena siapa akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?
22  Wherefore I perceive that there is nothing better, than that a man should rejoice in his own works; for that is his portion: for who shall bring him to see what shall be after him?
22  Wherefore I saw that there is nothing better, than that a man should rejoice in his works; for that is his portion: for who shall bring him back to see what shall be after him?
22  וראיתי כי אין טוב מאשׁר ישׂמח האדם במעשׂיו כי־הוא חלקו כי מי יביאנו לראות במה שׁיהיה אחריו׃


B.   Latar Belakang
Kitab ini biasanya dibandingkan dengan Kitab Amsal. Jika kita melakukan ini, maka kita akan menemukan kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Keduanya sama-sama menggunakan jenis tulisan puitis (juga Kitab Ayub, Mazmur dan Kidung Agung). Keduanya menekankan tentang takut kepada TUHAN (Ams 1:7; Pkt 12:13). Keduanya juga tergolong kitab-kitab hikmat, yaitu tulisan-tulisan yang mengajarkan nilai hidup dan bagaimana mengisi hidup itu seturut dengan kehendak Pencipta kehidupan. Keduanya sama-sama dikaitkan dengan Salomo (Ams 1:1; Pkt 1:1). Kedua kitab ini membahas secara eksplisit tentang perjanjian antara TUHAN dengan umat-Nya. Kitab ini juga tidak menceritakan pengalaman historis yang menakjubkan seputar karya Allah bagi bangsa Israel. Ibadah korban hanya disinggung di dua ayat (5:1; 9:2), itupun salah satunya tampak membingungkan karena seolah-olah tidak ada perbedaan antara orang yang mempersembahkan korban dengan yang tidak (9:2). Di samping kesamaan di atas, Kitab Amsal dan Pengkhotbah juga memiliki perbedaan. Kitab Amsal lebih menyoroti tentang bagaimana mengisi kehidupan, sedangkan Pengkhotbah lebihke arah arti atau nilai kehidupan. Kalau Kitab Amsal cenderung praktis, Kitab Pengkhotbahlebih bernuansa filosofis. Perbedaan lain terletak pada nuansa pesimistis dalam Kitab Pengkhotbah. Kata “sia-sia” muncul berkali-kali dalam kitab ini (1:2, 14; 2:11, 17, 21, 26; 4:4, 7, 8, 16; 6:2, 4, 9, 11; 11:8, 10).[1]

Dalam Alkitab Ibrani nama kitab ini didasarkan pada nama pengarang kitab ini yang muncul di ayat pertama, yaitu qohelet (LAI:TB “pengkhotbah”). Sebutan qohelet muncul sebanyak 7 kali dalam keseluruhan kitab (1:1, 2, 12; 7:27; 12:8, 9, 10).[2] Para penerjemah umumnya menerjemahkan kata ini dengan “pengkhotbah” (KJV/NKJV/NASB/RSV/ESVLAI:TB) atau “guru” (NIV/NRSV). Makna yang jelas dari istilah qohelet masih diperdebatkan. Berdasarkan kata dasar qahal yang berarti “mengumpulkan”, sebagian teolog menduga adalah seorang yang bertugas untuk menghimpun orang ke dalam sebuah kumpulan, walaupun tujuan dari persekutuan ini tidak selalu hal-hal yang rohani”[3] Makna ini tampaknya mendorong penerjemah LXX untuk menamakan Kitab Qohelet dengan ekklesiastes. Semua versi Inggris akhirnya mengadopsi istilah yang sama. Apakah sebutan qohelet tepat untuk kitab ini? Dari sisi jumlah pemunculan sebutan qohelet dalam kitab ini, posisi qohelet terlihat tidak terlalu penting. Fokus dalam kitab ini bukan terletak pada diri qohelet. Ajaran qohelet, terutama tentang kesia-siaan, tampaknya justru memainkan peranan yang jauh lebih dominan dalam kitab ini daripada diri qohelet sendiri. Dengan mempertimbangkan hal ini, sebutan qohelet sebaiknya dipandang sebagai penamaan yang kurang tepat. Apakah nama kitab “Pengkhotbah” (LAI:TB) lebih tepat? Sama seperti penjelasan di atas, fokus kitab tidak terletak pada diri qohelet. Pilihan judul dalam LAI:TB masih menyiratkan penekanan kitab yang kurang tepat. Di samping itu, jika kita memperhatikan dengan seksama maka akan terlihat bahwa isi kitab ini lebih mengarah pada bentuk hikmat daripada sebuah khotbah.[4]

Penulis kitab ini secara eksplisit disebutkan sebagai qohelet (1:1), tetapi identitas yang jelas dari tetap masih kabur. Karena qohelet muncul disertai dengan artikel pada 12:8 dan khususnya pada 7:27 kata tersebut berbentuk feminin, maka kata qohelet pastilah bukan nama orang, melainkan hanya sekedar sebutan. Dengan kata lain, penulisnya memilih untuk menyebut diri sebagai qohelet. Secara tradisional orang-orang Yahudi meyakini bahwa penulis Kitab Pengkhotbah adalah Salomo. Keyakinan ini terlihat dari berbagai petunjuk. Penerjemah LXX sengaja meletakkan Kitab Amsal, Pengkhotbah dan Kidung Agung setelah Mazmur dengan pertimbangan bahwa tulisan anak (Salomo) sudah seharusnya mengikuti tulisan bapak (Daud).[5] Tradisi Yahudi secara eksplisit menyatakan bahwa Salomo adalah penulis dari Kitab Pengkhotbah (Megilla 7a dan Shabatth 30). Sumber kerabian yang lain bahkan menjelaskan bahwa Kitab Kidung Agung ditulis Salomo waktu ia masih muda karena menekankan cinta, Kitab Amsal pada usia menengah ketika menghadapi berbagai problem praktis kehidupan, Kitab Pengkhotbah pada waktu usia lanjut.[6]

C.  Tafsir Kitab Pengkhotbah 3 & Aplikasinya.
1  Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
“Masa” diterjemahkan dari zeman yang mulai banyak dipakai sesudah pembuangan, dan menjadi istilah umum pada zaman pasca PL (bnd. Ind. : “zaman” yang berasal dari bahasa Arab). “Waktu” diterjemahkan dari et. Istilah ini yang umumnya dipergunakan dalam PL. LXX menerjemahkan zeman sebagai kairos dan et sebagai khronos. Maknanya sama, tidak seperti yang kita baca dalam beberapa buku teologi yang mempertentangkan keduanya dan memfavoritkan kairos. Hefets dapat berarti “apa-apa”, “hal-hal”, “pengalaman”. Saya pilih “peristiwa”, “kejadian” (affair) karena cocok dengan konteks kejadian-kejadian yang disebut dalam perikop. Tetapi dalam konteks lain, dalam Kitab Pengkhotbah, artinya bisa “keinginan”, “hasrat”, “kesenangan”, “kesukaan (preferensi)”. BIS-LAI menafsirkan : “segala sesuatu di dunia ini terjadi pada waktu yang ditentukan Allah”. Kemudian BIS-LAI menegaskan lagi hal ini dengan setiap kali menyisipkan “Allah” dalam ayat-ayat berikutnya mengenai waktu-waktu (ay.2,4,6,8).[7]
Ayat ini menjelaskan bahwa, untuk segala sesuatu ada waktunya, mungkin penulis kitab pengkhotbah, yang bernama Raja Salomo, ingin memberitahukan kepada pembaca kitab Pengkhotbah, bahwa kita harus menggunakan setiap waktu kita dengan bijaksana Karena Raja Salomo menulis kitab ini pada saat lanjut usia, dan dia sudah mempelajari banyak hal di dalam setiap kehidupannya sebagai Raja yang mempunyai hikmat paling tinggi. Raja Salomo menginnginkan kita, supaya kita dapat menghargai waktu yang ada, terutama dalam usia yang masih produktif (±20-45th). Sehingga dalam usia yang masih produktif dapat memaksimalkan waktu yang ada untuk digunakan dengan bijaksana dan cerdas, karena segala sesuatu ada waktunya dapat berarti, ada waktu kita bekerja (usia produktif), ada waktu untuk pensiun. Dan dalam ayat-ayat berikutnya, Raja Salomo menjelaskan kembali maksudnya.
Untuk kata “di bawah langit” yang dalam KJV dan ASV artinya “under the heaven”, mungkin Raja Salomo menjelaskan bahwa arti kata tersebut adalah, menuju kepada ketidak-kekalan, karena surga atau heaven adalah tempat dimana Allah berada, yang berarti tempat itu, adalah tempat yang kekal.[8] Jadi kita harus menggunakan waktu dengan baik, karena hidup di dalam dunia hanya sementara (tidak kekal), dan nantinya kita akan menuju kekekalan, baik kehidupan yang kekal, maupun kematian yang kekal.

2  Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;

Di sini dikemukakan pertentangan antara melahirkan – mati, yang diparalelkan dengan menanam – mencabut. Yang pertama dapat dikenakan pada konteks manusia dan binatang, yang kedua pada konteks pekerjaan menanam. Pengamatan yang pertama ini bersifat umum. Ada yang merasa bahwa laledert “melahirkan” tidak cocok untuk dijadikan padanan dengan “mati”, oleh karena itu mengusulkan “lahir” (lih. TB-LAI) atau “dilahirkan” (RSV dan NEB). Di pihak lain, semua terjemahan kuno mengikuti MT. Di zaman ketika orang menjadi sensitif terhadap sudut pandang perempuan, tidak ada satu pun penafsir yang membayangkan bahwa “melahirkan” berkaitan khusus dengan perempuan, sebab bukankah hanya perempuan yang bisa melahirkan? Bukan itu saja. Di zaman dahulu melahirkan adalah sesuatu yang amat berisiko tinggi. Si ibu bisa meninggal karena pendarahan. Di samping pengamatan yang bersikap umum, saya kira kita juga perlu terbuka pada pengamatan yang bersifat khusus. Tidak “melahirkan” tidak cocok dengan “mati” dan bermakna “memberi kehidupan”, barangkali lamut bukan berarti “mati” tertapi “mengakhiri kehidupan” alias “bunuh diri”? Begitulah pendapat J. Blenkinsopp yang mencatat bahwa dalam etika filsafati dari orang Stoa, bunuh diri tidak diangga negatif, bahkan bisa dianggap sebagai “noble death”. Di jepang juga ada pendapat yang sama, yang praktinya bernama “seppuku”. Nah, menurut Blenkinsopp pasal 3:1-8 itu sebuha pandangan Stoa yang dikomentari oleh Kohelet di dalam pasal 3:9-22. Isi dari perikop ini tentunya tidak memberi penilaian yang menyetujui atau mencela bunuh diri. Tetapi pasal 7:17jelas mengkritik orang yang mau mati sebleum waktunya, dan menurut saya sleuruh uraian Kohelet pada dasarnya mau memberi kiat atau kebijakan kepada manusia, bagaimana hidup di bawah bayang-bayang maut dan bukan mengenai kapan dan bagaiman manusia mengakhiri hidupnya.[9]


3  ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;

Membunuh – menyembuhkan, diparalelkan dengan membongkar-membangun. “membunuh” diambil dari harog. Apparatus criticus BHS mengusulkan harof, “merusak”, atau haros, “melukai/menyakiti”, mungkin untuk menyesuaikan dengan paralelnya pada ayat 3b yang berisi pertentangan membongkar-membangun. Tetapi menurut saya tidak perlu. “menyembuhkan” dari repo, yang akar katanya rafah (rofe berarti “penyembuh” atau “tabib”). Yang pertama dapat dikenakan pada konteks pemeliharaan binatang ternak. Yang sakit parah dan tidak mungkin sembuh tentu dibunuh, sedangkan yang masih punya harapan tentu akan disembuhkan. Yang kedua dapat dikenakan pada konteks pembangunan dan pembongkaran rumah atau gedung. Tetapi pertentangan yang pertama juga bisa dikenakan pada konteks manusia. Memang terdengar kejam, tetapi dari dulu sampai sekarang manusia bisa berbuat dua hal yang bertentangan itu. Pengamatan masih tetap umum.[10]
Menurut Penulis, untuk konteks pertama dengan kata “membunuh”, terdengar kata-katanya sangat kejam, bahwa ternyata membunuhpun ada waktunya. Seandainya dalam konteks pemeliharaan binatang ternak, mungkin itu bukan suatu masalah yang besar, karena zaman sekarang pun, untuk ternak yang terkena penyakit, seperti penyakit sapi gila, flu burung, seharusnya dibunuh, kecuali apabila binatang ternak tersebut ada harapan untuk disembuhkan. Tetapi untuk konteks manusia, hal ini sangat kejam, apabila kita melihat juga dalam zaman sekarang, bagi mereka yang tidak berperikemanusiaan terlihat sangat biasa untuk membunuh, karena manusia banyak sekali yang sudah terbiasa untuk membunuh. Hal ini dapat kita lihat dalam berita-berita di televisi.

4  ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;

Di sini pengamatan menjadi lebih khusus, yaitu menyoroti pertentangan-pertentangan dalam pengalaman manusia. Menangis – tertawa, diparalelkan dengan meratap – menari. Yang pertama konteksnya adalah lingkup reaksi emosional manusia, sedangkan yang kedua koteksnya adalah lingkup reaksi fisik berupa gerak tubuh. Orang yang menangis akan meratap sedang orang yang tertawa akan menari. Di dalam lingkungan masyarakat Jawa, orang bisa menangis dan tertawa, meskipun agak ditahan-tahan. Pengungkapan emosi sedapat mungkin dibatasi. Apalagi reaksi berupa gerak tubuh. Di jawa saya hampir tidak pernah menyaksikan orang meratap, yang meraung-raung sambil membanting-bantingkan tubuh atau memukul-mukul tanah. Melihat orang yang menari-nari kegirangan juga hampir tidak pernah. Kedua reaksi fisik inibagi orang jawa dianggap negatif sebagai perbuatan kekanak-kanakan. Tetapi di Timur Tengah (dan Indonesia Timur) justru dianggap wajar dan pada tempatnya.[11]
Dari ayat-ayat sebelum dan sesudah ini, pengkhotbah 3:1-8 ini mempunyai pola yang sama, penulis mengkelompokan hal tersebut sebagai, ada waktu untuk hal yang menyusahkan, ada waktu untuk hal yang menyenangkan. Dalam ayat ini hal yang menyusahkan adalah menangis dan meratap, sedangkan hal yang menyenangkan adalah tertawa dan menari. Kita belajar bahwa pola ini ternyata juga berlaku bagi dunia, yaitu ada saat susah, ada saat senang. Bahkan di Bangsa kita, juga ada peribahasa “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Yang berarti ada waktunya nanti kita menikmati dari semua hasil jerih payah kita.

5  ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;

Melontarkan batu – mengumpulkan batu, dipararelkan dengan memeluk – tidak memeluk. Kelihatannya tidak mulus ! Menentukan konteks yang pertama juga tidak mudah. Di dalam 2 Raja-raja 3:19, 25 pasukan yang menang membuang batu-batu ke ladang-ladang sehingga tidak produktif lagi. Konteksnya adalah peperangan. Pada masa damai, batu-batu tersebut diambil atau dikumpulkan lagi. Kemungkinan lain adalah konteks pengumpulan batu-batu dalam usaha mendirikan rumah di Palestina, yang semuanya dari batu. Bisa juga dipikirkan konteks perdagangan. Batu-batuan (kecil) dipakai sebagai alat bantu menghitung, seperti sempoa pada toke-toke tionghoa. Tetapi apa kaitannya dengan melempar dan mengumpulkannya tidak jelas. Mungkin bukan sebagai kalkulator tetapi sebagai alat undi? Kedua konteks ini tidak cocok dengan konteks 5b yang jelas merujuk pada orang yang bermesraan dan tdaik bermesraan, entah anggota keluarga, sahabat baik ataupun kekasih. Salah satu tafsiran para rabbi yaitu Midrasy Rabbah mengartikan pertentangan pertama sebagai metafor untuk hubungan seksual. Melontarkan batu maksudnya bersetubuh, sedangkan mengumpulkan batu maksudnya berhenti/tidak bersetubuh. Saran ini diikuti oleh BIS-LAI : “waktu untuk bersenggama dan waktu untuk pantang bersenggama”. Tidak berarti masalahnya sudah beres. Di dalam PL tidak ada metafor yang demikian. Istilah untuk bersetubuh biasanya adalah kata yada, “mengenal”, seperti ketika Adam bersetubuh dengan Hawa di dalam Kejadian 4:1. Kalau pendapat ini ditermia, ayat 5a menjadi satu-satunya metafor dalam uraian puitis ini padahal yang lainnya tidak. Namun demikian, akhirnya saya cenderung setuju dengan usul para rabbi ini. Di dalam agama Yahudi, seksualitas tidak dianggap saru melainkan dipandang positif. Para rabbi misalnya memberi saran pada suami-suami agar minimal 1 kali seminggu melakukan “tugas mulia” untuk istri. Sebaliknya pada hari raya Yom Kippur (perdamaian), di malam harinya orang dilarang melakukan hubungan seksual. Dengan demikian paralelnya dengan 5b menjadi mulus. Ayat 5 jadinya merujuk pada hubungan intim. Itu pun ada waktunya.[12]
Pada zaman sekarang, untuk hubungan intim antara suami dengan istri, juga ada batas-batas tertentu. Penulis mendapatkan informasi dari seorang dokter yang pernah membawakan seminar tentang “sex & kesehatan” di Gereja, mengatakan bahwa untuk hubungan suami istri paling banyak tiga kali dalam seminggu, bahkan apabila bisa dibawah itu. Dikarenakan kesehatan dari suami dan istri, juga dalam berhubungan intim, kedua peran harus dalam dalam kondisi tubuh yang fit, dan sehat. Karena dalam berhubungan intim juga menyita tenaga yang lebih. Pada waktu tertentu, sang istri tidak dapat melayani sang suami, dikarenakan kehamilan. Jadi pada saat kehamilan 9 bulan-pun ada waktunya, tepatnya pada hamil ke-3 bulan, bagi suami-istri dianjurkan oleh dokter supaya tidak melakukan hubungan intim, dikarenakan pada masa itu adalah masa yang rentan. Jadi suami-pun ada saatnya harus menahan selama 3 bulan. Jadi dalam berhubungan intim-pun juga ada waktunya.

6  ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
           
Pertentangan mencari – membiarkan hilang diparalelkan dengan menyimpan-membuang. “mencari” dari lebaqqesy, karena itu tidak mungkin berarti “menemukan” seperti di BIS-LAI yang mau memuluskan pertentangan di ayat 6a. TB-LAI sudah menafsirkan le’abed sebagai berlatar belakang perdagangan, “membiarkan rugi”. Kalau begitu “mencari” maksudnya “mencari untung”. Ayat 6b juga bisa ditempatkan pada konteks yang sama. Tetapi konteks lain masih bisa dibayangkan juga, misalnya konteks barang hilang di rumah. Mula-mula giat dicari, tetapi setelah tidak menemukannya, direlakan saja. Menyimpan dan membuang bisa juga dikenakan pada konteks rumah tangga.[13]


7  ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;

Pertentangan merobek-menjahit diparalelkan dengan berdiam-berbicara. Yang pertama biasanya berhubungan dengan orang yang sedang menjahit, atau mungkin juga tukang jahit. Jadi dalam menjahit, ada waktu untuk merobek untuk membuang kain-kain yang tidak perlu, ada juga waktu untuk menjahit kembali supaya menjadi satu pakaian.
Dari dunia Asia barat Daya kuno maupun dalam PL, diketahui bahwa orang yang bersedih atau berkabung selalu merobek-robek pakaiannya sebagai tanda berduka cita. Setelah masa perkabungan selesai, robekan itu dijahit kembali (oleh karena itu, jangan terlalu banyak yang dirobek, cukup satu robekan saja!). kalau konteksnya adalah perkabungan, maka ayat 7b juga cocok dimasukkan ke situ. Orang yang berkabung akan banyak berdiam. Nanti sesudah masa perkabungan selesai baru dia berbicara lagi.[14]

8  ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.

Dalam ayat ke-8, lebih ke-arah sifat manusia, bahwa ada waktu untuk mengasihi dan juga ada waktu untuk membenci. Sering terjadinya konflik antar manusia, karena adanya “gesekan”, sehingga membuat mereka yang tadinya saling mengasihi, bisa saling membenci. Mungkin hal itu disebabkan salah paham, beda pendapat, dan tidak ada yang mau mendengarkan. Bahkan seorang sahabat atau sepasang manusia yang sedang berpacaran yang tadinya begitu dekat dan saling mengasihi, dapat saling membenci hanya dalam waktu yang singkat, dan mungkin kebencian itu juga terus menerus dipendam, sehingga yang tadinya saling mengasihi, sekarang saling membenci, dan tidak bertemu lagi. Mungkin memang tidak berniat untuk membenci tetapi inilah sifat manusia yang mempunyai ego tinggi, sehingga tidak ada yang ingin berdamai.
Untuk ayat 8b, dalam konteksnya, zaman pada perjanjian lama, adalah zaman yang lebih banyak perang, mungkin zaman Salomo adalah zaman damai, tetapi dari cerita turun-menurun banyak bangsa yang perang untuk memperebutkan suatu daerah. Dalam perang-pun ada waktu dimana harus berdamai, mungkin disebabkan lawan mempunyai jumlah tentara yang lebih banyak, sehingga seorang raja harus memutuskan untuk berdamai, karena apabila perang terjadi, kemungkinan besar raja tersebut akan kalah, Seperti dalam Luk 14:31  Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang?  Jadi ada waktu untuk berdamai, ada juga waktu untuk perang.

9  Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?

Ide pasal 1:3 ini, diungkapkan kembali oleh Raja Salomo, untuk mempertegas kepada pembaca, bahwa apa untungnya manusia untuk berjerih payah dibawah matahari? Karena baginya semua itu adalah kesia-sia’an belaka, bahkan Raja Salomo pernah mengungkapkan hal ini seperti menjaring angin (Pkh.2:11) yang berarti, bahwa apa yang sudah dilakukannya selama ini tidak ada keuntungan. Dia juga berkata bahwa orang seperti ini, adalah orang yang hidupnya penuh kesedihan dan pekerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam harinya tidak tentram (Pkh.2:23). Jadi bagi Raja Salomo, apa untungnya menjaring angin? (Pkh.5:16).
Mungkin sekilas dalam ayat ini terlihat bertentangan dengan kitab Amsal 14:23, yang mengatakan bahwa dalam tiap jerih payah ada keuntungan. Tetapi yang dimaksudkan oleh Raja Salomo adalah mungkin seperti dalam kitab Matius 16:26 yang mengatakan, Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? Maksudnya adalah orang yang hanya bekerja dan berjerih payah dalam pekerjaannya, adalah orang yang menyia-nyiakan hidupnya, karena dia tidak dapat menikmati hasil dari jerih payah tersebut. Jadi apa gunanya seorang memperoleh seluruh harta, dunia, istri banyak tetapi kehilangan kehidupan kekal (nyawanya). Karena apa yang dibawah langit (under heaven) adalah sementara. Jadi Raja Salomo menginginkan kita, supaya jangan selalu mengejar yang dibawah langit (tidak kekal), tetapi mengejar surga yang kekal.

10  Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.

Ayat ini juga sudah dikemukakan dalam Pkh.1:13-14, bahwa semua pekerjaan yang dikerjakan oleh anak manusia adalah hanya untuk melelahkan dirinya, sehingga sampai meninggal, anak manusia akan bersusah payah untuk mencari makan. Mungkin saja Raja Salomo juga membaca kitab kejadian pada saat menulis kitab ini, karena dalam kejadian 3:19 juga dikatakan dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu." Yang berarti anak manusia akan bersusah payah dan bekerja sampai manusia kembali menjadi tanah (meninggal). Jadi Raja Salomo melihat hal ini suatu kelelahan yang tak berujung, karena dia sendiripun sudah mengalaminya dan di usianya yang sudah lanjut (pada saat ia menulis kitab pengkhotbah usianya sudah lanjut), Raja Salomo sudah mempunyai pengalaman dan dia juga termasuk orang yang berjerih lelah dalam hidupnya.

11  Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

Di dalam ayat ini tidak ada persoalan tekstual. Yang menjadi masalah adalah maknanya, yang ditentukan oleh bagaimana kita mengartikan kata olam dalam konteks ayat ini. Di 11a dipakai kata yafe, “indah” bukan tob seperti di dalam kisah penciptaan.”indah” adalah sebuah istilah estetis. Tob bisa bermakna etis maupun estetis. Penggunaan yafe tampaknya menunjukkan kedekatan Kohelet dengan pemahaman Yunani mengenai kehidupan ini. Berarti kalau Allah yang membuat peristiwa-peristiwa tersebut di atas terjadi pada waktunya, itu adalah indah. Hakkol dalam konteks di sini tidak berarti keseluruhan alam semesta seperti di 1:2, dan yang dibicarakan juga bukan konteks penciptaan dunia seperti di dalam Kejadian 1.[15]
Allah membuat segala sesuatu indah pada waktunya, sesuai dengan polanya. Penulis sudah menjabarkan sedikit di halaman 8, paragraf ke-1 mengenai pola. Jadi segala sesuatu indah sesuai dengan pola yang sudah diterangkan oleh ayat 2-7. Pola yang dimaksudkan adalah ada saat dimana hal itu menyusahkan, ada saat untuk hal yang menyenangkan. Cth :
·         Ada saatnya untuk belajar, ada saatnya untuk beristirahat.
·         Ada saatnya untuk menjaga apa yang dimakan, ada saatnya untuk panjang umur dan melihat, serta menggendong cucu.
·         Ada saatnya untuk merintis Gereja, ada saatnya untuk mendapatkan jemaat yang setia dan mempunyai Gereja yang besar.
·         Ada saatnya untuk bekerja, ada saatnya untuk menikmati lewat pendapatan bulanan.
·         Ada saatnya untuk berkorban dalam melayani Tuhan, ada saatnya kita menikmati keindahan dalam kekealan (surga).
Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya, jadi indah pada waktunya sesuai pola yang dimaksudkan adalah, sesuatu yang menyenangkan dan dapat kita nikmati setelah melewati masa-masa sulit dalam hidup, yang biasanya tidak disukai oleh beberapa orang. Padahal hal yang menyusahkan ini adalah, hal dimana kita dapat dibentuk untuk menjadi pribadi yang mempunyai karakter lebih baik lagi. Ironisnya, manusia yang bahkan sudah sering mendalami Alkitab-pun tidak mengerti rencana Tuhan ini, sehingga seringkali seorang manusia berusaha untuk menikmatinya lebih awal, dan tidak dapat menikmati keindahan yang sudah Tuhan rencanakan atau sediakan.

12  Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka.

Raja Salomo menjelaskan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada menikmati kesenangan, memang inilah hal yang paling disukai oleh manusia. Raja Salomo-pun mengalaminya, karena dia sudah bersenang-senang pada masa mudanya, sehingga pada usianya yang lanjut ini, dia sepertinya bertobat karena dari kitab pengkhotbah ini berisi penyesalan dia di masa muda yang terlalu mementingkan kesenangan. Seperti yang kita juga tahu bahwa dia memiliki tujuh ratus istri dari kaum bangsawan dan tiga ratus gundik, dan bagi dia, istri-istrinya lebih menarik hatinya daripada Tuhan (1Raj.11:3).
Raja Salomo yang sudah lanjut usia memperingatkan bagi orang-orang yang membaca kitab Pengkhotbah ini bahwa segala sesuatu adalah sia-sia, karena kenikmatan yang didapatkannya hanyalah sementara, tidak kekal. Jadi dia sudah mengetahui kesenangan tersebut dan menganjurkan kepada kita lewat kitab Pengkhotbah supaya jangan menyia-nyiakan waktu yang ada, karena segala sesuatu indah pada waktunya.

13  Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.

Dalam ayat ini, menjelaskan bahwa setiap orang dapat menikmati kesenangan yang sementara ini (under heaven), karena ini-pun dari Allah, apa-pun yang didapatkan manusia adalah dari Allah. Jadi kita juga berhak untuk menikmati hasil jerih payah dan hasil kerja keras kita selama ini. Tetapi semua harus sesuai dengan polanya, yaitu harus melewati masa kesusahan terlebih dahulu untuk dapat menikmati kesenangan. Jadi kita dapat menikmati hasil jerih payah kita, karena ini-pun Allah yang memberikan.


14  Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya; itu tak dapat ditambah dan tak dapat dikurangi; Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia.

            Perbuatan-perbuatan Allah akan berlangsung terus-menerus (le’olam). Kalau dilihat dalam konteks perikop, tentunya yang dimaksud adalah apa yang kita baca pada ayat-ayat 1-8. Manusia tidak dapat menambah atau menguranginya. Ungkapan ini dapat dimaksudkan untuk menunjukkan kedaulatan Allah yang mutlak. Perbuatan manusia bisa ditambah atau dikurangi, perbuatan Allah tidak. Entah suka atau tidak suka, mau atau tidak mau itu sudah demikian adanya. Di pihak lain ungkapan mengenai sesuatu yang tidak bisa ditambah atau dikurangi juga menunjukkan kesempurnaan karya Allah.[16]

15  Yang sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Allah mencari yang sudah lalu.

            Pikiran yang ada di sini sudah dikemukakan di 1:9. Yang baru adalah ungkapan weha’elohim yebaqqesy et nirdaf, “ dan Sang Allah mencari apa yang sudah lalu/lewat”. BIS-LAI menafsir : “Allah menentukan supaya yang sudah terjadi, terjadi lagi”. Nirdaf dilihat sebagai peristiwa yang sudah lewat, yang dikejar oleh Allah dan dikembalikan lagi ke masa kini. Sama dengan di 1:10 di sini juga mau diterangkan lagi mengenai kemustahilan sesuatu yang baru. Mungkin itulah maksudnya. Kata nirdaf adalah niphal dari radaf, yang bisa berarti positif, “mengikuti” atau negatif, “mengejar”. Radaf bisa dilihat juga sebagai pararel dari biqqesy. Mungkin karena perikop kita tidak mengandung pokok ini, dan masih harus diperiksa apakah perikop yang menyusul. Juga mau mengemukakan penyelamatan Allah terhadap orang yang tertindas. Mungkin karena perikop ini tidak diakhiri dengan ungkapan kesia-siaan dan mengejar angin.

16  Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situpun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situpun terdapat ketidakadilan.

Pasal ini bukan mengalihkan pokok pembicaraan seratus persen, sebab gagasan tentang waktu yang tidak dapat diubah serta kekuasaannya atas kita masih terdapat dalam ay17. Tapi soal ketidakadilan demikian mencolok, sehingga tidak bisa dibiarkan semata-mata sebagai bahan ilustrasi bagi tema itu. Soal ini diangkat untuk sementara waktu menjadi soal tersendiri dalam ay, 4, dan selang-seling akan kembali dalam pasal-pasal berikutnya. Tapi soal ini pertama-tama dilihat dalam rangka serta perubahan-perubahan yang sekonyong-konyong dalam hidup, yang mendapat tekanan utama dalam ps.3. Sebab, jika ada sesuatu yang berteriak untuk dirombak, itu adalah ketidakadilan. Di sini akhirnya kita menemukan keuntungan nyata dari perubahan dan liku-liku kehidupan kita. Fakta, bahwa segala sesuatu di dunia adalah musiman, menjanjikan pada kita bahwa suatu ketika kelak akan berakhir masa kejahatan dan ketidakadilan yang berkepanjangan itu. Ini menguatkan keyakinan moral yang murni, bahwa Allah menghendaki keadilan, dengan pikiran, untuk mana, seperti untuk segala hal, Ia sudah menetukan waktunya yang tepat.[17]

17  Berkatalah aku dalam hati: "Allah akan mengadili baik orang yang benar maupun yang tidak adil, karena untuk segala hal dan segala pekerjaan ada waktunya."

Makna dari syam. Terjemahan-terjemahan kuno seperti T,V,S mengartikannya sebagai menunjuk pada dunia atau zaman yang akan datang. Gordis mengikuti pendapat ini, dan mengaitkannya dengna kata barar, “menguji”, “memurnikan” pada ayat 18. Allah menghakimi, tetapi belum sekarang, oleh karena Allah sedang menguji. “di sana” menurut Gordis adalah di she’ol, dunia orang mati. Beberapa penafsir dari generasi tua, mengusulkan agar syam diubah sedikit menjadi sam, “menentukan”. Jadi, meskipun sekarang tidak ada proses pengadilan yang baik, pada waktunya yang ditentukan oleh Allah, Dia sendiri akan mengadili.[18] Jadi, Allah akan mengadili pada saatnya nanti, bukan sekarang. Sekarang kita sedang di proses, diuji untuk kehidupan kekal nantinya, dan sebelum masuk ke kehidupan kekal, nantinya kita diadili terlebih dahulu.

18  Tentang anak-anak manusia aku berkata dalam hati: "Allah hendak menguji mereka dan memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka hanyalah binatang."

Lebaram berasal dari barar, “menguji”, “memurnikan”. Berarti Allah sedang menguji mereka terlebih dahulu, tetapi ada perkataan yang terlihat sinis, yaitu manusia disamakan dengan binatang. Dalam bahasa aslinya, kata “binatang” adalah behemah, yaitu binatang ternak yang besar-besar seperti sapi (atau kerbau dalam konteks Asia Tenggara). Jadi yang mau ditunjukkan adalah bayangan sapi yang berjalan bolak-balik menarik pedati atau membajak di padang/sawah, tanpa tujuan dan tanpa makna. Jadi, yang disamakan adalah pekerjaan si sapi, yang dapat dibandingkan dengan pekerjaan, usaha dan jerih payah si manusia yang juga tanpa makna dan tujuan, karena bagaimanapun juga, manusia dan binatang berbeda.

19  Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia.

Di sini nasib manusia disamakan dengan binatang, juga keduanya mempunyai nafas yang sama. Nasib disini adalah miqre, yaitu kematian. Sedangkan untuk kata nafas adalah ruakh. Dalam kisah penciptaan dalam Kejadian 2:7 Tuhan meniupkan napas hidup ke dalam hidung prototipe manusia dari tanah lempung, dan hasilnya jadilah mahluk hidup yang disebut ha’adam. Tetapi istilah yang dipakai untuk napas bukan ruakh melainkan nesyamah. Jadi dalam kisah penciptaan, binatang tidak pernah disebut mendapat napas dari Tuhan. Hanya manusia saja yang demikian.[19]
Jadi yang disamakan adalah bahwa manusia dan binatang sama-sama akan mati (secara fisik), dan sama-sama bernafas, tetapi ada perbedaan karena manusia diberi nafas (nesyamah) secara langsung dari Tuhan, sedangkan binatang tidak. Jadi bukan berarti manusia adalah sama dengan binatang secara keseluruhan. Itulah sebabnya penulis kitab pengkhotbah berkata pada akhir di ayat ini adalah bahwa segala sesuatu adalah sia-sia, pada akhirnya manusia-pun juga akan meninggal seperti binatang.

20  Kedua-duanya menuju satu tempat; kedua-duanya terjadi dari debu dan kedua-duanya kembali kepada debu.

Kata tempat disini adalah maqom. (Dalam bahasa indonesia berarti “makam” yang berasal dari bahasa Arab). Tentunya kuburan manusia berbeda sekali dengan kuburan binatang, karena manusia umumnya merawat kuburannya sedemikian rupa sehingga menjadi cantik dan bagus, bahkan ada beberapa tempat kuburan di Indonesia yang sangat mahal dan yang termurah di tempat itu mencapai Rp.8.000.000,-[20]. Kuburan ini bernama San Diego Hills yang berada di Karawang, Jawa Barat.[21] Jadi sangat berbeda sekali dengan kuburan binatang, yang bahkan kadang-kadang binatang tidak memiliki kuburan, sehingga banyak yang mati di tengah jalan dan membusuk di sana. Jadi yang menjadi masalah adalah bukan lokasinya, tetapi pada saatnya nanti, baik itu manusia ataupun binatang, akan kembali menjadi debu (meninggal).

21  Siapakah yang mengetahui, apakah nafas manusia naik ke atas dan nafas binatang turun ke bawah bumi.

Kata nafas disini berarti ruakh, yang dapat berarti juga roh. Dalam BIS-LAI diterjemahkan sebagai roh dalam ayat ini. Saya setuju apabila dipakai kata “roh”, karena dengan ini jadi dapat dimengerti bahwa pada akhirnya roh manusia akan naik ke atas (surga. Manusia selalu menganggap surga itu berada di atas) dan roh binatang itu turun ke bawah bumi. Binatang tidak seperti manusia yang  merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Karena manusia mempunyai roh, jiwa dan tubuh. Dan tentunya manusia mempunyai akal budi.

22  Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu adalah bahagiannya. Karena siapa akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?

Pikiran yang sudah muncul dalam 2:10 diangkat kembali. Kalau manusia dan binatang sama-sama hidup di bawah bayang-bayang maut, dan bahwa bayang-bayang maut ini membuat perbedaan esensial di antara mereka berdua menjadi relatif, maka tidak lain yang bisa dibuat sekarang oleh manusia adalah bergembira, karena itulah porsinya. Heleg berupa kegembiraan di dalam jerih payah.[22]  Saya lebih setuju menggunakan terjamahan BIS-LAI, Sebab itu aku menyadari bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia daripada menikmati hasil kerjanya. Selain itu tak ada yang dapat dilakukannya. Tak mungkin ia mengetahui apa yang akan terjadi setelah ia mati. Jadi kita pun juga berhak mendapatkan kebahagiaan lewat pekerjaan yang kita lakukan sendiri oleh jerih payah kita sendiri, bahkan Rasul Paulus dalam 2 Tes.3:10 mengatakan "Orang yang tidak mau bekerja, tidak boleh makan." Jadi orang yang tidak  mau bekerjalah yang tidak dapat menikmati hasil pekerjaannya, tetapi orang yang mau bekerja dapat menikmati hasil dari pekerjaannya, yang biasa kita sebut dengan “gaji”. Dan semua itu dapat kita lakukan pada saat kita masih berada di dunia yang fana ini, karena kita tidak bisa membawa seluruh hasil pekerjaan kita, pada saat kita meninggal. Jadi selama masih di dunia kita boleh menikmati hasil pekerjaan kita sendiri. Tentunya apapun  yang kita lakukan, juga untuk kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus.


D.  Kepustakaan
a)    Buku
1.  Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., Hidup Di Bawah Bayang-Bayang Maut-Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah. (Jakarta:PT.BPK Gunung Mulia, 2002)
2.  Derek Kidner, Seri Pemahaman Dan Penerapan Amanat Alkitab Masa Kini  (Jakarta: Yayasan komunikasi Bina Kasih/OMF, 2005)
3.   Pdt. Nathanel Wattileo,S.Th, D.Min, Tafsir PL II – Yosua, Rut, Samuel, Raja-raja, Nehemia, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah. (Jakarta:Makalah Kalangan Sendiri)
4. Departemen Pendidikan Nasional Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat. (Jakarta:Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
5.    Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab. Jakarta: LAI, 1996.

b)   Media Elektronik (Internet, Software)
1.    E-Sword – the Sword of the Lord with an electronic edge
2.    http://www.gkri-exodus.org/image-upload/BIB-PPL2_23_Pengkhotbah.pdf
3.    http://www.sandiegohills.co.id
4. http://news.okezone.com/read/2010/01/02/337/290322/makam-termurah-di-san-diego-hills-rp8-juta.





--==OoOo(Jesus Bless You)oOoO==--


[1] http://www.gkri-exodus.org/image-upload/BIB-PPL2_23_Pengkhotbah.pdf
[2] Pdt. Nathanel Wattileo,S.Th, D.Min, Tafsir PL II – Yosua, Rut, Samuel, Raja-raja, Nehemia, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah. (Jakarta:Makalah Kalangan Sendiri), 75.
[3] Jack P. Lewis, “Qahal”, TWOT Vol. II, ed. by R. Laird Harris, Gleason L. Archer, Bruce K. Waltke (Chicago: Moody Press, 1980), 789-780.
[4] Opcit, www.gkri-exodus.org
[5] R. K. Harrison, Introduction to the Old Testament (Peabody: Prince Press, 1999), 1073.
[6] Opcit, www.gkri-exodus.org
[7] Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., Hidup Di Bawah Bayang-Bayang Maut-Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah. (Jakarta:PT.BPK Gunung Mulia, 2002), 59.
[8] Departemen Pendidikan Nasional Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat. (Jakarta:Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm.237. kekal a abadi, abid, baka, baki, daim, langgeng, langsung, lestari, molar, permanen, selama-lamanya, sinambung, terus, tetap.
[9] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., 60.
[10] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., 60.
[11] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., 61.
[12] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., 62.
[13] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., 62
[14] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., 63.
[15] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., 64.
[16] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., 70.
[17] Derek Kidner, Seri Pemahaman Dan Penerapan Amanat Alkitab Masa Kini  (Jakarta: Yayasan komunikasi Bina Kasih/OMF, 2005), 46.
[18] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., 76.
[19] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., 78.
[20] http://news.okezone.com/read/2010/01/02/337/290322/makam-termurah-di-san-diego-hills-rp8-juta. Pemakaman San Diego Hills yang terletak di Karawang, jawa Barat, menjadi tempat pemakaman yang cukup menjadi pilihan masyarakat. Pasalnya, suasana di pemakaman disana, terkesan jauh dari istilah angker. Namun, tempatnya yang bagus juga berdampak kepada harganya. Untuk ukuran makam termurah seluas 1,5 meter x 2,6 meter, harga di San Diego Hills mencapai Rp8 juta.
[21] http://www.sandiegohills.co.id/
[22] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., 80.

No comments: