Welcome....

Selamat datang teman-teman. Saya Paulus yang biasa dipanggil PaO. Saya rindu sekali untuk membuat artikel. Disinilah saya menuangkan semua hasil pemikiran. Saya beri judul pada Blog ini, Reflection Results. Ini semua hasil pemikiran, ide, refleksi dari saya sendiri. Apabila ada kata-kata atau kalimat dari orang lain, saya berikan footnote atau resensi tulisan. Saya yakin anda mendapat pelajaran yang baik pada saat anda membacanya. Bila teman-teman sedang ada waktu, boleh sekalian dikasih komentarnya dalam setiap artikel yang dibaca. Bila ada yang tidak setuju juga tidak masalah :D all praise to Jesus! praise for ever!!

Selamat Membaca. Tuhan Yesus Kristus Memberkati.

Penulis : Pdp. Paulus Igunata Sutedjo, M.Th.

Labels

Tuesday, April 9, 2013

KONTEKSTUALISASI YANG AUTENTIK & RELEVAN



A. Definisi Judul.
Secara singkat, kontekstual adalah berhubungan dengan konteks.[1] Kata autentik berarti dapat dipercaya, asli, tulen dan sah.[2] Sedangkan kata relevan berarti kait-mengait, bersangkut-paut dan berguna secara langsung.[3]
Menurut Eka Darmaputera, teologi kontekstual adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman kristiani pada konteks, ruang dan waktu tertentu.[4] Sedangkan kata “kontekstualisasi” pertama kali muncul dalam terbitan TEF (1972) yakni Theological Education Fund (Dana Pendidikan Teologi). Jadi, kontekstualisasi yang autentik dan relevan adalah usaha menempatkan sesuatu dalam konteksnya, sehingga tidak asing lagi, tetapi terjalin dan menyatu dengan keseluruhan seperti benang dalam tekstil. Dalam hal ini tidak hanya tradisi kebudayaan yang menentukan tetapi situasi dan kondisi sosial pun turut berbicara.[5] Sehingga sesuatu tersebut dapat diterima oleh masyarakat setempat dan dapat berguna bagi masyarakat tersebut untuk kehidupannya.

B. Kesetiaan dan Kebermaknaan.
Suatu usaha dapat disebut autentik, bila berkaitan dengan kesetiaan suatu berita pada kewibawaan dan isi kehendak Allah sebagaimana terungkap dalam ciptaan-Nya, dalam nurani manusia, dan khususnya dalam Anak-Nya dan Firman-Nya yang diilhami oleh Roh Kudus. Memang seluruh umat manusia ikut serta dalam hal menerima kesaksian ciptaan, namun gereja Kristen bertugas secara khusus untuk menyampaikan Kristus yang disaksikan oleh Alkitab. Sudah tentu, autentisitas tidak menjamin bahwa berita akan bermakna dan meyakinkan para pendengarnya. Karena itu kita harus memikirkan juga hasilnya. Pemberitaan yang berhasil muncul dari pemahaman tentang para pendengar dalam konteks mereka. Sehingga kita harus berusaha juga supaya maknanya dapat diterima dan dipahami oleh mereka.
Dari sudut pandangan ini kontekstualisasi Kristen dapat dipahami upaya untuk memberitakan berita tentang pribadi, karya, Firman dan kehendak Allah dalam cara yang setia pada penyataan ilahi yang khususnya diungkapkan dalam Alkitab, dan yang juga bermakna bagi khalayak dalam budaya mereka masing-masing.
Secara sadar dan tidak sadar berita itu telah disesuaikan sehingga menjadi bermakna bagi orang-orang dalam budaya-budaya tempat berita Kristen itu disebarkan, tempat gereja berkembang, dan tempat berasalnya para utusan lintas budaya. Tugas mereka dan tugas gereja-gereja yang muncul dari karya mereka adalah, menafsirkan berita Alkitab untuk membatasi masuknya bahan-bahan yang berasal dari kebudayaan mereka sendiri. Kemudian mereka menyesuaikan berita itu supaya dapat memberitakannya dengan hasil baik kepada khalayak dalam suatu budaya tertentu.

C. Kontekstualisasi dan teks Alkitab.
Kontekstualisasi merupakan proses dengan tiga unsur yang berbeda: penyataan, penafsiran, dan penerapan; dalam ketiganya ada kesinambungan makna.
C.1. Penyataan.
            Proses kontekstualisasi ini mulia bila Allah menyatakan kebenaran-Nya dalam bentuk bahasa. Di bawah bimbingan Roh Kudus, seorang pengarang manusia menghasilkan suatu teks, dengan menggunakan lambang-lambang linguistik untuk menyampaikan makna penyataan itu. Roh Allah mengilhami penulisan kebenaran yang dinyatakan itu, sehingga kesesuaian antara apa yang dinyatakan dan apa yang ditulis, sudah terjamin.
C.2. Penafsiran.
            Unsur kedua adalah bila pembaca atau pendengar menyadari makna yang dimaksudkan. Ini dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kebudayaan penafsir sendiri dan kebudayaan pengarang teks. Kebudayaan penafsir sendiri meninggalkan cap yang tidak terhapuskan pada pola berpikirnya, yang mempengaruhi cara ia menafsirkan suatu berita tertentu. Namun meskipun terdapat keterbatasan yang ditibulkan oleh kebudayaan, kebangsaan dan bahasa penafsir, dan pengaruh dosa yang mengacaukan, namun para penafsir bisa memperoleh pemahaman yang lebih kurang akurat mengenai makna yang dimaksudkanoleh pengarang teks yang dipelajarinya. Hal ini mungkin, karena kejelasan teks dan perangkat-perangkat analitis yang dipakai oleh ahli-ahli tafsiran, teologi dan sejarah, bekerjasama untuk menjamin bahwa makna yang terbentuk dalam pikiran penafsir, tidak terlepas dari rentangan makna yang ditetapkan oleh teks itu sendiri.
C.3. Penerapan.
            Unsur yang ketiga terdiri dari dua langkah. Pertama, penafsir menguraikan akibat-akibat logis dari pemahamannya tentang Alkitab untuk orang yang akan menghayati ajaran Alkitab itu dalam suatu kebudayaan. Kedua, penafsir secara sadar memutuskan untuk menerima keabsahan implikasi-implikasi Alkitab, atau menolaknya dan menutupinya dengan makna yang diciptakan sendiri. Dan ia kehilangan hubungan dengan kebenaran yang terbungkus dalam teks tersebut. Akibatnya, kontekstualisasi yang autentik dan memadai tidak mungkin. Sebaliknya, bila penafsir menerima keabsahan implikasi-implikasi teks, ia dapat menerjemahkan maknanya ke dalam lingkungan makna Alkitab dalam keadaan tertentu dapat dipahami.
            Jadi, kontekstualisasi yang dapat diterima (=autentik) adalah hasil langsung dari proses memastikan makna Alkitab, secara sadar tunduk kepada kewibawaannya, dan menerapkan makna itu dalam suatu budaya terentu. Hasil-hasil proses ini bisa berbeda-beda dalam bentuk dan intensitasnya, tetapi akan tetap tinggal di dalam batasan rentangan makna yang ditetapkan oleh teks Alkitab.

D. Kontekstualisasi dan budaya penerima.
Untuk memahami hal-hal yang tercakup dalam penyampaian Injil kepada orang dengan budaya-budaya lain, kita dapat mempelajarinya lewat pola tujuh dimensi yang berikut.
D.1. Pandangan dunia – cara memahami dunia.
Gagasan pandangan dunia telah menjadi umum dalam bahan-bahan antropologis, teologis, dan komunikasi. Artinya “cara kita melihat dunia dalam hubungannya dengan diri kita sendiri serta sebaliknya”. Kita dapat menyederhanakannya menjadi pemahaman tentang hal-hal yang adikodrati, alam, manusia dan waktu, meskipun artinya lebih luas daripada itu.
Sebagai contohnya, pandangan dunia agama Hindu dan agama Buddhis. Dua agama ini mempunyai pandangan bahwa tiap manusia terperangkap dalam lingkaran kelahiran dan kelahiran kembali bergantung pada karmanya. Inilah yang disebut dengan reinkarnasi[6]. Perbedaan-perbedaan antara pemahaman ini dengan pemahaman Kristen menjelaskan bahwa penayampaian Injil yang berhasil baik kepada orang Hindu atau Buddhis menuntut beberapa perbandingan. Gagasan Hindu-Buddhis dan Kristen tentang Allah, asal-usul alam, masalah manusia, anugerah, makna keselamatan, pentingnya sejarah, hakikat spiritualitas, dan tujuan umat manusia dan seluruh lama ini, semuanya harus dibandingkan. Bila kita tidak melakukannya, kita mengakibatkan kesalahpahaman dan sinkretisme[7] belaka, sehingga penerimanya hanya akan memasukkan potongan-potongan kecil dari informasi Kristen ke dalam pandangan dunia mereka sendiri.
D.2. Proses kognitif – cara berpikir.
Karya-karya dalam berbagai disiplin ilmu membuktikan bahwa meskipun semua kebudayaan mempunyai logikanya, namun logika itu tidak sama seluruhnya. F.H. Smith menjelaskan hal ini dengan mengusulkan tiga cara : konseptual, batiniah dan relasional konkret, di mana kehidupan dan realitas dimengerti dengan menekankan hubungan-hubungan emosi yang hadir dalam tiap keadaan.
Pandangan Smith menghapuskan gagasan bahwa hanya ada satu cara berpikir yang tepat dan juga gagasan bahwa hanya ada dua cara. Ia tidak saja menguraikan ketiga cara berpikir, ia menjelaskan hubungan di antaranya dan menekankan bahwa orang-orang dari segala kebudayaan berpikir dalam ketiga cara ini. Perbedaan kebudayaan dalam kaitan ini, kata Smith, disebabkan oleh prioritas yang diberikan kepada salah satu cara berpikir di antaranya. Karena semua orang berpikir dalam ketiga cara ini, maka pemahaman lintas budaya dapat tercapai, dan kita perlu saling menghormati.
D.3. Bentuk Linguistik – cara mengungkapkan gagasan.
Sangatlah penting pembahasan ilmiah bagi orang percaya Kristen, tentang perbedaan bahasa yang satu dengan bahasa lainnya, dan tentang betapa besarnya pengaruh perbedaan tersebut. Bahasa penting dalam menyampaikan suatu berita, untuk itulah ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam cara mengungkapkan suatu gagasan.
Pertama suatu pernyataan sederhana: orang di mana pun juga suka bergaul dalam “bahasa hati” mereka sendiri, yaitu dalam bahasa budaya yang dimilikinya sejak masa muda. Kedua, tiap orang dapat menguasai bahasa lain, meskipun tentunya perbedaan individu menghasilkan kecakapan yang bereda-beda dalam hal ini. Ketiga, dalam mempelajari bahasa harus diingat bahwa tidak ada korelasi langsung antara dua bahasa. Keempat, kita tidak saja dapat mempelajari bahasa penerima, kita pun dapat belajar darinya. Pengarang Amerika yang bahasanya mencerminkan pentingnya waktu dalam budaya Eropa-Amerika, akan menganggap aneh bahasa yang tidak membedakan masa lampau, masa kini, dan masa depan. Namun justru pada keanehan itu terdapat sesuatu yang dapat dipelajarinya.
D.4. Pola perilaku – cara bertindak.
Komunikasi kontekstual melibatkan bukan saja apa yang kita katakan tetapi juga bagaimana kita mengatakannya. Selain itu, kita harus memperhatikan apa yang disampaikan ketika kita tidak berkata ataupun tidak berbuat apa-apa. Contoh-contoh tentang kontekstualisasi yang di bawah ini, memang memakai kata-kata untuk menyampaikan berita, namun itu tidak berarti bahwa pola-pola perilaku seperti gerak isyarat, upacara, posisi, nada suara dan yang semacamnya, tidak terlibat dalam proses kontekstualisasi. Bila orang membaca karya Luther ia hampir dapat mendengar nada suara dan melihat intensitas orang yang menyampaikan kebenaran Reformasi kepada Eropa pada abad ke-16. Dan ketika berdebat dengan orang Muslim, orang Kristen harus sadar bahwa bila ia memperlihatkan acuh tak acuh dan perasaan memusuhi, maka ia akan merusak alasannya.
D.5. Media komunikasi – cara menyalurkan berita.
Menurut McLuhan, kemampuan membaca memungkinkan orang menampaikan beritanya tanpa terlibat secara tatap muka. Klise cetak meningkatkan proses belajar yang bertuntun dan pemerintahan oleh hukum. Media elektronik, khususnya televisi, sedang mengubah dunia menjadi suatu desa besar. Tanpa berdebat dengan McLuhan, namun dengan cara yang tidak begitu megah kita dapat memperhatikan kecenderungan dan kesukaan budaya penerima bila kita memilih dan memanfaatkan media komunikasi.
Kraft, Nida dan lain-lainnya mengkritik pemakaian khotbah lisan sebagai medium satu-satunya penyampaian Injil dalam banyak pertemuan Kristen. Tentu saja khotbah itu penting namun harus disebut benar. Para peserta Konferensi Penginjilan Dunia yang diadakan di Pattaya, Muangthai, pada tahun 1980 ingat benar drama yang dipentaskan oleh suatu kelompok drama Thai, meskipun mereka tidak memahami bahasa Thai yang dipakai kelompok itu. Sangat diragukan apakah mereka ingat satu saja khotbah yang dipersiapkan dengan baik dan disampaikan dengan berapi-api dalam konferensi tersebut oleh para pembicara yang terkenal. Jadi cara menyalurkan berita dengan menggunakan media komunikasi juga sangat penting.
D.6. Struktur sosial – cara bergaul.
Orang tidak hanya bertindak sesuai dengan aturan-aturan perilaku dan makna yang ditentukan oleh budayanya. Mereka pun bergaul satu dengan yang lain berdasarkan adat dan kebiasaan sosial. Adat itu menetapkan saluran-saluran peergaulan manakah yang terbuka dan manakah yang tertutup, siapa yang boleh berbicara kepada siapa dan dengan cara bagaimana, dan jenis berita apa yang paling bergengsi dan berpengaruh.
D.7. Sumber motivasi – cara mengambil keputusan.
Salah satu alasan untuk memberitakan berita lintas budaya adalah mendorong orang untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu atas dasar informasi dan motivasi yang akan mengakibatkan sikap, kesetiaan, dan arah tindakan yang berubah. Tugas para utusan Injil dapat disimpulkan dalam kata-kata Paulus, “Kami tahu apa artinya takut akan Tuhan, karena itu kami berusaha meyakinkan orang” (2 Kor 5:11). Namun, siapakah yang berhak mengambil keputusan dalam suatu masyarakat? Keputusan apa yang  mereka perbuat? Bagaimanakah keputusan itu diambil? Apakah dasar-dasar untuk pengambilan keputusan itu sah? Jawabannya tergantung kepada kebudayaan.

E. Kesimpulan.
Kontekstualisasi Kristen yang autentik dan berhasil adalah yang memperhatikan dengan cermat baik Alkitab maupun kebudayaan penerimanya. Alkitab ditafsirkan sedemikian rupa sehingga, sedekat mungkin, maksud pengarang ditemukan dengan menggunakan prinsip-prinsip hermeneutis yang sehat. Melalui proses ini, pengaruh kebudayaan si penafsir sendiri dapat perlahan-lahan diatasi. Inilah autentisitas. Kemudian berita Injil diungkapkan dalam bentuk yang sesuai dengan suatu kebudayaan penerima tertentu, supaya bermakna dan menyakinkan bagi khalayak dalam budaya itu. Inilah yang dimaksud dengan “berhasil”. Kedua proses ini sebaiknya dilakukan oleh ahli-ahli dalam budaya dan bahasa yang terlibat, yang memahami dinamika kebudayaan, dan yang berkebudayaan ganda. Namun kedua proses itu demikian pentingnya sehingga semua penafsir Alkitab dan semua orang yang menangani pelayanan lintas budaya, seharusnya berusaha memahami dimensi-dimensi budaya dari proses-proses tersebut.

Daftar Pustaka.
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab. Jakarta: LAI, 1996.
Hesselgrave, David J. dan Edward Rommen, (2012). Kontekstualisasi – Makna, Metode, Dan Model. Jakarta : Gunung Mulia.
Rachman, Rasid, (1999). Pengantar Sejarah Liturgi. Tangerang: Bintang Fajar.
Departemen Pendidikan Nasional, (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI v1.1.
http://id.wikipedia.org/wiki/Reinkarnasi




[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 591.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI v1.1. Autentik.
[3] Ibid., Relevan.
[4]https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&sqi=2&ved=0CEAQFjAB&url=http%3A%2F%2Fxa.yimg.com%2Fkq%2Fgroups%2F17977581%2F1853614080%2Fname%2FGEREJA&ei=ySNiUe6JBoezrAfejYCoDw&usg=AFQjCNENJyuI9Ru3Ws1e2nB2B8-rvB5Qeg&sig2=1_RlYrOD2CMMFYCHo1VyGA&bvm=bv.44770516,d.bmk
[5]Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi (Tangerang: Bintang Fajar, 1999), hlm.122.
[6] Reinkarnasi (dari bahasa Latin untuk "lahir kembali" atau "kelahiran semula"[1]) atau t(um)itis, merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu bukanlah wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat ini. Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang tersebut yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil pebuatannya terdahulu.
Terdapat dua aliran utama yaitu pertama,mereka yang mempercayai bahwa manusia akan terus menerus lahir kembali. Kedua,mereka yang mempercayai bahwa manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika apabila mereka melakukan kebaikan yang mencukupi atau apabila mendapat kesadaran agung (Nirvana) atau menyatu dengan Tuhan (moksha). Agama Hindu menganut aliran yang kedua. Lihat. Wikipedia Ensiklopedia Bebas. Reinkarnasi, in http://id.wikipedia.org/wiki/Reinkarnasi, 6 April 2013.
[7] sin·kre·tis·me /sinkrétisme/ n paham (aliran) baru yg merupakan perpaduan dr beberapa paham (aliran) yg berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, dsb. Lihat. Sinkretisme. In Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI v1.1.

No comments: