A.
Definisi Judul.
Secara singkat,
kontekstual adalah berhubungan dengan konteks.[1] Kata
autentik berarti dapat dipercaya, asli, tulen dan sah.[2]
Sedangkan kata relevan berarti kait-mengait, bersangkut-paut dan berguna secara
langsung.[3]
Menurut Eka
Darmaputera, teologi kontekstual adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman
kristiani pada konteks, ruang dan waktu tertentu.[4]
Sedangkan kata “kontekstualisasi” pertama kali muncul dalam terbitan TEF (1972)
yakni Theological Education Fund (Dana Pendidikan Teologi). Jadi, kontekstualisasi
yang autentik dan relevan adalah usaha menempatkan sesuatu dalam konteksnya,
sehingga tidak asing lagi, tetapi terjalin dan menyatu dengan keseluruhan
seperti benang dalam tekstil. Dalam hal ini tidak hanya tradisi kebudayaan yang
menentukan tetapi situasi dan kondisi sosial pun turut berbicara.[5] Sehingga
sesuatu tersebut dapat diterima oleh masyarakat setempat dan dapat berguna bagi
masyarakat tersebut untuk kehidupannya.
B.
Kesetiaan dan Kebermaknaan.
Suatu usaha dapat
disebut autentik, bila berkaitan dengan kesetiaan suatu berita pada kewibawaan
dan isi kehendak Allah sebagaimana terungkap dalam ciptaan-Nya, dalam nurani
manusia, dan khususnya dalam Anak-Nya dan Firman-Nya yang diilhami oleh Roh
Kudus. Memang seluruh umat manusia ikut serta dalam hal menerima kesaksian
ciptaan, namun gereja Kristen bertugas secara khusus untuk menyampaikan Kristus
yang disaksikan oleh Alkitab. Sudah tentu, autentisitas tidak menjamin bahwa
berita akan bermakna dan meyakinkan para pendengarnya. Karena itu kita harus
memikirkan juga hasilnya. Pemberitaan yang berhasil muncul dari pemahaman
tentang para pendengar dalam konteks mereka. Sehingga kita harus berusaha juga
supaya maknanya dapat diterima dan dipahami oleh mereka.
Dari sudut pandangan
ini kontekstualisasi Kristen dapat dipahami upaya untuk memberitakan berita
tentang pribadi, karya, Firman dan kehendak Allah dalam cara yang setia pada
penyataan ilahi yang khususnya diungkapkan dalam Alkitab, dan yang juga
bermakna bagi khalayak dalam budaya mereka masing-masing.
Secara sadar dan tidak
sadar berita itu telah disesuaikan sehingga menjadi bermakna bagi orang-orang
dalam budaya-budaya tempat berita Kristen itu disebarkan, tempat gereja
berkembang, dan tempat berasalnya para utusan lintas budaya. Tugas mereka dan
tugas gereja-gereja yang muncul dari karya mereka adalah, menafsirkan berita
Alkitab untuk membatasi masuknya bahan-bahan yang berasal dari kebudayaan
mereka sendiri. Kemudian mereka menyesuaikan berita itu supaya dapat
memberitakannya dengan hasil baik kepada khalayak dalam suatu budaya tertentu.
C.
Kontekstualisasi dan teks Alkitab.
Kontekstualisasi
merupakan proses dengan tiga unsur yang berbeda: penyataan, penafsiran, dan
penerapan; dalam ketiganya ada kesinambungan makna.
C.1.
Penyataan.
Proses
kontekstualisasi ini mulia bila Allah menyatakan kebenaran-Nya dalam bentuk
bahasa. Di bawah bimbingan Roh Kudus, seorang pengarang manusia menghasilkan
suatu teks, dengan menggunakan lambang-lambang linguistik untuk menyampaikan
makna penyataan itu. Roh Allah mengilhami penulisan kebenaran yang dinyatakan
itu, sehingga kesesuaian antara apa yang dinyatakan dan apa yang ditulis, sudah
terjamin.
C.2.
Penafsiran.
Unsur kedua
adalah bila pembaca atau pendengar menyadari makna yang dimaksudkan. Ini
dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kebudayaan penafsir sendiri dan kebudayaan
pengarang teks. Kebudayaan penafsir sendiri meninggalkan cap yang tidak
terhapuskan pada pola berpikirnya, yang mempengaruhi cara ia menafsirkan suatu
berita tertentu. Namun meskipun terdapat keterbatasan yang ditibulkan oleh
kebudayaan, kebangsaan dan bahasa penafsir, dan pengaruh dosa yang mengacaukan,
namun para penafsir bisa memperoleh pemahaman yang lebih kurang akurat mengenai
makna yang dimaksudkanoleh pengarang teks yang dipelajarinya. Hal ini mungkin,
karena kejelasan teks dan perangkat-perangkat analitis yang dipakai oleh
ahli-ahli tafsiran, teologi dan sejarah, bekerjasama untuk menjamin bahwa makna
yang terbentuk dalam pikiran penafsir, tidak terlepas dari rentangan makna yang
ditetapkan oleh teks itu sendiri.
C.3.
Penerapan.
Unsur yang
ketiga terdiri dari dua langkah. Pertama, penafsir menguraikan akibat-akibat
logis dari pemahamannya tentang Alkitab untuk orang yang akan menghayati ajaran
Alkitab itu dalam suatu kebudayaan. Kedua, penafsir secara sadar memutuskan
untuk menerima keabsahan implikasi-implikasi Alkitab, atau menolaknya dan
menutupinya dengan makna yang diciptakan sendiri. Dan ia kehilangan hubungan
dengan kebenaran yang terbungkus dalam teks tersebut. Akibatnya,
kontekstualisasi yang autentik dan memadai tidak mungkin. Sebaliknya, bila
penafsir menerima keabsahan implikasi-implikasi teks, ia dapat menerjemahkan
maknanya ke dalam lingkungan makna Alkitab dalam keadaan tertentu dapat
dipahami.
Jadi,
kontekstualisasi yang dapat diterima (=autentik) adalah hasil langsung dari
proses memastikan makna Alkitab, secara sadar tunduk kepada kewibawaannya, dan
menerapkan makna itu dalam suatu budaya terentu. Hasil-hasil proses ini bisa
berbeda-beda dalam bentuk dan intensitasnya, tetapi akan tetap tinggal di dalam
batasan rentangan makna yang ditetapkan oleh teks Alkitab.
D.
Kontekstualisasi dan budaya penerima.
Untuk memahami hal-hal
yang tercakup dalam penyampaian Injil kepada orang dengan budaya-budaya lain,
kita dapat mempelajarinya lewat pola tujuh dimensi yang berikut.
D.1.
Pandangan dunia – cara memahami dunia.
Gagasan pandangan dunia
telah menjadi umum dalam bahan-bahan antropologis, teologis, dan komunikasi.
Artinya “cara kita melihat dunia dalam hubungannya dengan diri kita sendiri
serta sebaliknya”. Kita dapat menyederhanakannya menjadi pemahaman tentang
hal-hal yang adikodrati, alam, manusia dan waktu, meskipun artinya lebih luas
daripada itu.
Sebagai contohnya,
pandangan dunia agama Hindu dan agama Buddhis. Dua agama ini mempunyai
pandangan bahwa tiap manusia terperangkap dalam lingkaran kelahiran dan
kelahiran kembali bergantung pada karmanya. Inilah yang disebut dengan reinkarnasi[6].
Perbedaan-perbedaan antara pemahaman ini dengan pemahaman Kristen menjelaskan
bahwa penayampaian Injil yang berhasil baik kepada orang Hindu atau Buddhis
menuntut beberapa perbandingan. Gagasan Hindu-Buddhis dan Kristen tentang
Allah, asal-usul alam, masalah manusia, anugerah, makna keselamatan, pentingnya
sejarah, hakikat spiritualitas, dan tujuan umat manusia dan seluruh lama ini,
semuanya harus dibandingkan. Bila kita tidak melakukannya, kita mengakibatkan
kesalahpahaman dan sinkretisme[7]
belaka, sehingga penerimanya hanya akan memasukkan potongan-potongan kecil dari
informasi Kristen ke dalam pandangan dunia mereka sendiri.
D.2.
Proses kognitif – cara berpikir.
Karya-karya dalam
berbagai disiplin ilmu membuktikan bahwa meskipun semua kebudayaan mempunyai
logikanya, namun logika itu tidak sama seluruhnya. F.H. Smith menjelaskan hal
ini dengan mengusulkan tiga cara : konseptual, batiniah dan relasional konkret,
di mana kehidupan dan realitas dimengerti dengan menekankan hubungan-hubungan
emosi yang hadir dalam tiap keadaan.
Pandangan Smith
menghapuskan gagasan bahwa hanya ada satu cara berpikir yang tepat dan juga
gagasan bahwa hanya ada dua cara. Ia tidak saja menguraikan ketiga cara
berpikir, ia menjelaskan hubungan di antaranya dan menekankan bahwa orang-orang
dari segala kebudayaan berpikir dalam ketiga cara ini. Perbedaan kebudayaan
dalam kaitan ini, kata Smith, disebabkan oleh prioritas yang diberikan kepada
salah satu cara berpikir di antaranya. Karena semua orang berpikir dalam ketiga
cara ini, maka pemahaman lintas budaya dapat tercapai, dan kita perlu saling
menghormati.
D.3.
Bentuk Linguistik – cara mengungkapkan gagasan.
Sangatlah penting
pembahasan ilmiah bagi orang percaya Kristen, tentang perbedaan bahasa yang
satu dengan bahasa lainnya, dan tentang betapa besarnya pengaruh perbedaan
tersebut. Bahasa penting dalam menyampaikan suatu berita, untuk itulah ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam cara mengungkapkan suatu gagasan.
Pertama suatu
pernyataan sederhana: orang di mana pun juga suka bergaul dalam “bahasa hati”
mereka sendiri, yaitu dalam bahasa budaya yang dimilikinya sejak masa muda.
Kedua, tiap orang dapat menguasai bahasa lain, meskipun tentunya perbedaan
individu menghasilkan kecakapan yang bereda-beda dalam hal ini. Ketiga, dalam
mempelajari bahasa harus diingat bahwa tidak ada korelasi langsung antara dua
bahasa. Keempat, kita tidak saja dapat mempelajari bahasa penerima, kita pun
dapat belajar darinya. Pengarang Amerika yang bahasanya mencerminkan pentingnya
waktu dalam budaya Eropa-Amerika, akan menganggap aneh bahasa yang tidak
membedakan masa lampau, masa kini, dan masa depan. Namun justru pada keanehan
itu terdapat sesuatu yang dapat dipelajarinya.
D.4.
Pola perilaku – cara bertindak.
Komunikasi kontekstual melibatkan
bukan saja apa yang kita katakan tetapi juga bagaimana kita mengatakannya.
Selain itu, kita harus memperhatikan apa yang disampaikan ketika kita tidak
berkata ataupun tidak berbuat apa-apa. Contoh-contoh tentang kontekstualisasi
yang di bawah ini, memang memakai kata-kata untuk menyampaikan berita, namun
itu tidak berarti bahwa pola-pola perilaku seperti gerak isyarat, upacara,
posisi, nada suara dan yang semacamnya, tidak terlibat dalam proses
kontekstualisasi. Bila orang membaca karya Luther ia hampir dapat mendengar
nada suara dan melihat intensitas orang yang menyampaikan kebenaran Reformasi
kepada Eropa pada abad ke-16. Dan ketika berdebat dengan orang Muslim, orang
Kristen harus sadar bahwa bila ia memperlihatkan acuh tak acuh dan perasaan memusuhi,
maka ia akan merusak alasannya.
D.5.
Media komunikasi – cara menyalurkan berita.
Menurut McLuhan,
kemampuan membaca memungkinkan orang menampaikan beritanya tanpa terlibat
secara tatap muka. Klise cetak meningkatkan proses belajar yang bertuntun dan
pemerintahan oleh hukum. Media elektronik, khususnya televisi, sedang mengubah
dunia menjadi suatu desa besar. Tanpa berdebat dengan McLuhan, namun dengan
cara yang tidak begitu megah kita dapat memperhatikan kecenderungan dan
kesukaan budaya penerima bila kita memilih dan memanfaatkan media komunikasi.
Kraft, Nida dan
lain-lainnya mengkritik pemakaian khotbah lisan sebagai medium satu-satunya
penyampaian Injil dalam banyak pertemuan Kristen. Tentu saja khotbah itu
penting namun harus disebut benar. Para peserta Konferensi Penginjilan Dunia
yang diadakan di Pattaya, Muangthai, pada tahun 1980 ingat benar drama yang
dipentaskan oleh suatu kelompok drama Thai, meskipun mereka tidak memahami
bahasa Thai yang dipakai kelompok itu. Sangat diragukan apakah mereka ingat
satu saja khotbah yang dipersiapkan dengan baik dan disampaikan dengan
berapi-api dalam konferensi tersebut oleh para pembicara yang terkenal. Jadi
cara menyalurkan berita dengan menggunakan media komunikasi juga sangat
penting.
D.6.
Struktur sosial – cara bergaul.
Orang tidak hanya
bertindak sesuai dengan aturan-aturan perilaku dan makna yang ditentukan oleh
budayanya. Mereka pun bergaul satu dengan yang lain berdasarkan adat dan
kebiasaan sosial. Adat itu menetapkan saluran-saluran peergaulan manakah yang
terbuka dan manakah yang tertutup, siapa yang boleh berbicara kepada siapa dan
dengan cara bagaimana, dan jenis berita apa yang paling bergengsi dan
berpengaruh.
D.7.
Sumber motivasi – cara mengambil keputusan.
Salah satu alasan untuk
memberitakan berita lintas budaya adalah mendorong orang untuk mengambil
keputusan-keputusan tertentu atas dasar informasi dan motivasi yang akan
mengakibatkan sikap, kesetiaan, dan arah tindakan yang berubah. Tugas para
utusan Injil dapat disimpulkan dalam kata-kata Paulus, “Kami tahu apa artinya
takut akan Tuhan, karena itu kami berusaha meyakinkan orang” (2 Kor 5:11).
Namun, siapakah yang berhak mengambil keputusan dalam suatu masyarakat? Keputusan
apa yang mereka perbuat? Bagaimanakah
keputusan itu diambil? Apakah dasar-dasar untuk pengambilan keputusan itu sah?
Jawabannya tergantung kepada kebudayaan.
E.
Kesimpulan.
Kontekstualisasi
Kristen yang autentik dan berhasil adalah yang memperhatikan dengan cermat baik
Alkitab maupun kebudayaan penerimanya. Alkitab ditafsirkan sedemikian rupa
sehingga, sedekat mungkin, maksud pengarang ditemukan dengan menggunakan
prinsip-prinsip hermeneutis yang sehat. Melalui proses ini, pengaruh kebudayaan
si penafsir sendiri dapat perlahan-lahan diatasi. Inilah autentisitas. Kemudian
berita Injil diungkapkan dalam bentuk yang sesuai dengan suatu kebudayaan
penerima tertentu, supaya bermakna dan menyakinkan bagi khalayak dalam budaya
itu. Inilah yang dimaksud dengan “berhasil”. Kedua proses ini sebaiknya
dilakukan oleh ahli-ahli dalam budaya dan bahasa yang terlibat, yang memahami
dinamika kebudayaan, dan yang berkebudayaan ganda. Namun kedua proses itu
demikian pentingnya sehingga semua penafsir Alkitab dan semua orang yang
menangani pelayanan lintas budaya, seharusnya berusaha memahami dimensi-dimensi
budaya dari proses-proses tersebut.
Daftar
Pustaka.
Lembaga
Alkitab Indonesia, Alkitab. Jakarta: LAI, 1996.
Hesselgrave, David J. dan Edward Rommen, (2012). Kontekstualisasi – Makna, Metode, Dan Model.
Jakarta : Gunung Mulia.
Rachman,
Rasid, (1999). Pengantar Sejarah Liturgi.
Tangerang: Bintang Fajar.
Departemen
Pendidikan Nasional, (2005). Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, KBBI v1.1.
http://id.wikipedia.org/wiki/Reinkarnasi
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 591.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI v1.1. Autentik.
[3] Ibid., Relevan.
[4]https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&sqi=2&ved=0CEAQFjAB&url=http%3A%2F%2Fxa.yimg.com%2Fkq%2Fgroups%2F17977581%2F1853614080%2Fname%2FGEREJA&ei=ySNiUe6JBoezrAfejYCoDw&usg=AFQjCNENJyuI9Ru3Ws1e2nB2B8-rvB5Qeg&sig2=1_RlYrOD2CMMFYCHo1VyGA&bvm=bv.44770516,d.bmk
[5]Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi (Tangerang:
Bintang Fajar, 1999), hlm.122.
[6] Reinkarnasi (dari bahasa Latin
untuk "lahir kembali" atau "kelahiran semula"[1]) atau
t(um)itis, merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan
dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu bukanlah
wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat ini. Yang lahir kembali itu adalah
jiwa orang tersebut yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil
pebuatannya terdahulu.
Terdapat dua aliran utama yaitu pertama,mereka yang
mempercayai bahwa manusia akan terus menerus lahir kembali. Kedua,mereka yang
mempercayai bahwa manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika apabila
mereka melakukan kebaikan yang mencukupi atau apabila mendapat kesadaran agung
(Nirvana) atau menyatu dengan Tuhan (moksha). Agama Hindu menganut aliran yang
kedua. Lihat. Wikipedia Ensiklopedia Bebas. Reinkarnasi, in
http://id.wikipedia.org/wiki/Reinkarnasi, 6 April 2013.
[7] sin·kre·tis·me /sinkrétisme/ n
paham (aliran) baru yg merupakan perpaduan dr beberapa paham (aliran) yg
berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, dsb. Lihat. Sinkretisme. In Kamus Besar Bahasa
Indonesia, KBBI v1.1.
No comments:
Post a Comment