A. Interlinear.
ITB
|
KJV
|
ASV
|
HOT
|
1 Untuk segala
sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
|
1 To every thing
there is a season, and a time to every purpose under the heaven:
|
1 For everything
there is a season, and a time for every purpose under heaven:
|
1 לכל זמן ועת לכל־חפץ תחת
השׁמים׃
|
2 Ada
waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada
waktu untuk mencabut yang ditanam;
|
2 A time
to be born, and a time to die; a time to plant, and a time to pluck up that
which is planted;
|
2 a time
to be born, and a time to die; a time to plant, and a time to pluck up that
which is planted;
|
2 עת ללדת ועת למות עת
לטעת ועת לעקור נטוע׃
|
3 ada
waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak,
ada waktu untuk membangun;
|
3 A time
to kill, and a time to heal; a time to break down, and a time to build up;
|
3 a time
to kill, and a time to heal; a time to break down, and a time to build up;
|
3 עת להרוג ועת לרפוא עת
לפרוץ ועת לבנות׃
|
4 ada
waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada
waktu untuk menari;
|
4 A time
to weep, and a time to laugh; a time to mourn, and a time to dance;
|
4 a time
to weep, and a time to laugh; a time to mourn, and a time to dance;
|
4 עת לבכות ועת לשׂחוק
עת ספוד ועת רקוד׃
|
5 ada
waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk
memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
|
5 A time
to cast away stones, and a time to gather stones together; a time to embrace,
and a time to refrain from embracing;
|
5 a time
to cast away stones, and a time to gather stones together; a time to embrace,
and a time to refrain from embracing;
|
5 עת להשׁליך אבנים ועת
כנוס אבנים עת לחבוק ועת לרחק מחבק׃
|
6 ada
waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk
menyimpan, ada waktu untuk membuang;
|
6 A time
to get, and a time to lose; a time to keep, and a time to cast away;
|
6 a time
to seek, and a time to lose; a time to keep, and a time to cast away;
|
6 עת לבקשׁ ועת לאבד עת
לשׁמור ועת להשׁליך׃
|
7 ada
waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri,
ada waktu untuk berbicara;
|
7 A time
to rend, and a time to sew; a time to keep silence, and a time to speak;
|
7 a time
to rend, and a time to sew; a time to keep silence, and a time to speak;
|
7 עת לקרוע ועת לתפור עת
לחשׁות ועת לדבר׃
|
8 ada
waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada
waktu untuk damai.
|
8 A time
to love, and a time to hate; a time of war, and a time of peace.
|
8 a time
to love, and a time to hate; a time for war, and a time for peace.
|
8 עת לאהב ועת לשׂנא עת
מלחמה ועת שׁלום׃
|
9 Apakah
untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?
|
9 What
profit hath he that worketh in that wherein he laboureth?
|
9 What
profit hath he that worketh in that wherein he laboreth?
|
9 מה־יתרון העושׂה באשׁר
הוא עמל׃
|
10 Aku
telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk
melelahkan dirinya.
|
10 I have
seen the travail, which God hath given to the sons of men to be exercised in
it.
|
10 I have
seen the travail which God hath given to the sons of men to be exercised
therewith.
|
10 ראיתי את־הענין אשׁר
נתן אלהים לבני האדם לענות בו׃
|
11 Ia
membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan
dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang
dilakukan Allah dari awal sampai akhir.
|
11 He hath
made every thing beautiful in his time: also he hath set the world in
their heart, so that no man can find out the work that God maketh from the
beginning to the end.
|
11 He hath
made everything beautiful in its time: also he hath set eternity in their
heart, yet so that man cannot find out the work that God hath done from the
beginning even to the end.
|
11 את־הכל עשׂה יפה בעתו
גם את־העלם נתן בלבם מבלי אשׁר לא־ימצא האדם את־המעשׂה אשׁר־עשׂה האלהים מראשׁ
ועד־סוף׃
|
12 Aku
tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan
menikmati kesenangan dalam hidup mereka.
|
12 I know
that there is no good in them, but for a man to rejoice, and to
do good in his life.
|
12 I know
that there is nothing better for them, than to rejoice, and to do good so
long as they live.
|
12 ידעתי כי אין טוב בם
כי אם־לשׂמוח ולעשׂות טוב בחייו׃
|
13 Dan
bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala
jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.
|
13 And
also that every man should eat and drink, and enjoy the good of all his
labour, it is the gift of God.
|
13 And
also that every man should eat and drink, and enjoy good in all his labor, is
the gift of God.
|
13 וגם כל־האדם שׁיאכל
ושׁתה וראה טוב בכל־עמלו מתת אלהים היא׃
|
14 Aku
tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk
selamanya; itu tak dapat ditambah dan tak dapat dikurangi; Allah berbuat
demikian, supaya manusia takut akan Dia.
|
14 I know
that, whatsoever God doeth, it shall be for ever: nothing can be put to it,
nor any thing taken from it: and God doeth it, that men should
fear before him.
|
14 I know
that, whatsoever God doeth, it shall be for ever: nothing can be put to it,
nor anything taken from it; and God hath done it, that men should fear before
him.
|
14 ידעתי כי כל־אשׁר
יעשׂה האלהים הוא יהיה לעולם עליו אין להוסיף וממנו אין לגרע והאלהים עשׂה
שׁיראו מלפניו׃
|
15 Yang
sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Allah
mencari yang sudah lalu.
|
15 That
which hath been is now; and that which is to be hath already been; and God
requireth that which is past.
|
15 That
which is hath been long ago; and that which is to be hath long ago been: and
God seeketh again that which is passed away.
|
15 מה־שׁהיה כבר הוא
ואשׁר להיות כבר היה והאלהים יבקשׁ את־נרדף׃
|
16 Ada
lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situpun
terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situpun terdapat
ketidakadilan.
|
16 And
moreover I saw under the sun the place of judgment, that wickedness was
there; and the place of righteousness, that iniquity was there.
|
16 And
moreover I saw under the sun, in the place of justice, that wickedness was
there; and in the place of righteousness, that wickedness was there.
|
16 ועוד ראיתי תחת השׁמשׁ
מקום המשׁפט שׁמה הרשׁע ומקום הצדק שׁמה הרשׁע׃
|
17 Berkatalah
aku dalam hati: "Allah akan mengadili baik orang yang benar maupun yang
tidak adil, karena untuk segala hal dan segala pekerjaan ada waktunya."
|
17 I said
in mine heart, God shall judge the righteous and the wicked: for there is
a time there for every purpose and for every work.
|
17 I said
in my heart, God will judge the righteous and the wicked; for there is a time
there for every purpose and for every work.
|
17 אמרתי אני בלבי
את־הצדיק ואת־הרשׁע ישׁפט האלהים כי־עת לכל־חפץ ועל כל־המעשׂה שׁם׃
|
18 Tentang
anak-anak manusia aku berkata dalam hati: "Allah hendak menguji mereka
dan memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka hanyalah binatang."
|
18 I said
in mine heart concerning the estate of the sons of men, that God might
manifest them, and that they might see that they themselves are beasts.
|
18 I said
in my heart, It is because of the sons of men, that God may prove
them, and that they may see that they themselves are but as beasts.
|
18 אמרתי אני בלבי
על־דברת בני האדם לברם האלהים ולראות שׁהם־בהמה המה להם׃
|
19 Karena
nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa
mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya
mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang,
karena segala sesuatu adalah sia-sia.
|
19 For
that which befalleth the sons of men befalleth beasts; even one thing
befalleth them: as the one dieth, so dieth the other; yea, they have all one
breath; so that a man hath no preeminence above a beast: for all is
vanity.
|
19 For
that which befalleth the sons of men befalleth beasts; even one thing
befalleth them: as the one dieth, so dieth the other; yea, they have all one
breath; and man hath no preeminence above the beasts: for all is vanity.
|
19 כי מקרה בני־האדם
ומקרה הבהמה ומקרה אחד להם כמות זה כן מות זה ורוח אחד לכל ומותר האדם מן־הבהמה
אין כי הכל הבל׃
|
20
Kedua-duanya menuju satu tempat; kedua-duanya terjadi dari debu dan
kedua-duanya kembali kepada debu.
|
20 All go
unto one place; all are of the dust, and all turn to dust again.
|
20 All go
unto one place; all are of the dust, and all turn to dust again.
|
20 הכל הולך אל־מקום אחד
הכל היה מן־העפר והכל שׁב אל־העפר׃
|
21
Siapakah yang mengetahui, apakah nafas manusia naik ke atas dan nafas
binatang turun ke bawah bumi.
|
21 Who
knoweth the spirit of man that goeth upward, and the spirit of the beast that
goeth downward to the earth?
|
21 Who
knoweth the spirit of man, whether it goeth upward, and the spirit of the
beast, whether it goeth downward to the earth?
|
21 מי יודע רוח בני האדם
העלה היא למעלה ורוח הבהמה הירדת היא למטה לארץ׃
|
22 Aku
melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada bergembira
dalam pekerjaannya, sebab itu adalah bahagiannya. Karena siapa akan
memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?
|
22
Wherefore I perceive that there is nothing better, than that a
man should rejoice in his own works; for that is his portion: for who
shall bring him to see what shall be after him?
|
22
Wherefore I saw that there is nothing better, than that a man should
rejoice in his works; for that is his portion: for who shall bring him back
to see what shall be after him?
|
22 וראיתי כי אין טוב
מאשׁר ישׂמח האדם במעשׂיו כי־הוא חלקו כי מי יביאנו לראות במה שׁיהיה אחריו׃
|
B. Latar
Belakang
Kitab
ini biasanya dibandingkan dengan Kitab Amsal. Jika kita melakukan ini, maka
kita akan menemukan kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Keduanya
sama-sama menggunakan jenis tulisan puitis (juga Kitab Ayub, Mazmur dan Kidung
Agung). Keduanya menekankan tentang takut kepada TUHAN (Ams 1:7; Pkt 12:13).
Keduanya juga tergolong kitab-kitab hikmat, yaitu tulisan-tulisan yang
mengajarkan nilai hidup dan bagaimana mengisi hidup itu seturut dengan kehendak
Pencipta kehidupan. Keduanya sama-sama dikaitkan dengan Salomo (Ams 1:1; Pkt
1:1). Kedua kitab ini membahas secara eksplisit tentang perjanjian antara TUHAN
dengan umat-Nya. Kitab ini juga tidak menceritakan pengalaman historis yang
menakjubkan seputar karya Allah bagi bangsa Israel. Ibadah korban hanya
disinggung di dua ayat (5:1; 9:2), itupun salah satunya tampak membingungkan karena
seolah-olah tidak ada perbedaan antara orang yang mempersembahkan korban dengan
yang tidak (9:2). Di samping kesamaan di atas, Kitab Amsal dan Pengkhotbah juga
memiliki perbedaan. Kitab Amsal lebih menyoroti tentang bagaimana mengisi
kehidupan, sedangkan Pengkhotbah lebihke arah arti atau nilai kehidupan. Kalau
Kitab Amsal cenderung praktis, Kitab Pengkhotbahlebih bernuansa filosofis.
Perbedaan lain terletak pada nuansa pesimistis dalam Kitab Pengkhotbah. Kata
“sia-sia” muncul berkali-kali dalam kitab ini (1:2, 14; 2:11, 17, 21, 26; 4:4,
7, 8, 16; 6:2, 4, 9, 11; 11:8, 10).[1]
Dalam
Alkitab Ibrani nama kitab ini didasarkan pada nama pengarang kitab ini yang
muncul di ayat pertama, yaitu qohelet (LAI:TB
“pengkhotbah”). Sebutan qohelet muncul sebanyak 7 kali
dalam keseluruhan kitab (1:1, 2, 12; 7:27; 12:8, 9, 10).[2]
Para penerjemah umumnya menerjemahkan kata ini dengan “pengkhotbah” (KJV/NKJV/NASB/RSV/ESVLAI:TB)
atau “guru” (NIV/NRSV). Makna yang jelas dari istilah qohelet
masih diperdebatkan. Berdasarkan kata dasar qahal yang berarti
“mengumpulkan”, sebagian teolog menduga adalah seorang yang bertugas untuk menghimpun
orang ke dalam sebuah kumpulan, walaupun tujuan dari persekutuan ini tidak selalu
hal-hal yang rohani”[3]
Makna ini tampaknya mendorong penerjemah LXX untuk menamakan Kitab Qohelet
dengan ekklesiastes. Semua versi Inggris akhirnya
mengadopsi istilah yang sama. Apakah sebutan qohelet tepat
untuk kitab ini? Dari sisi jumlah pemunculan sebutan qohelet dalam
kitab ini, posisi qohelet terlihat tidak terlalu penting. Fokus
dalam kitab ini bukan terletak pada diri qohelet. Ajaran qohelet,
terutama tentang kesia-siaan, tampaknya justru memainkan peranan yang
jauh lebih dominan dalam kitab ini daripada diri qohelet sendiri.
Dengan mempertimbangkan hal ini, sebutan qohelet sebaiknya
dipandang sebagai penamaan yang kurang tepat. Apakah nama kitab “Pengkhotbah”
(LAI:TB) lebih tepat? Sama seperti penjelasan di atas, fokus kitab tidak
terletak pada diri qohelet. Pilihan judul dalam LAI:TB masih
menyiratkan penekanan kitab yang kurang tepat. Di samping itu, jika kita
memperhatikan dengan seksama maka akan terlihat bahwa isi kitab ini lebih
mengarah pada bentuk hikmat daripada sebuah khotbah.[4]
Penulis
kitab ini secara eksplisit disebutkan sebagai qohelet (1:1),
tetapi identitas yang jelas dari tetap masih kabur. Karena qohelet
muncul disertai dengan artikel pada 12:8 dan khususnya pada 7:27
kata tersebut berbentuk feminin, maka kata qohelet pastilah bukan
nama orang, melainkan hanya sekedar sebutan. Dengan kata lain,
penulisnya memilih untuk menyebut diri sebagai qohelet.
Secara tradisional orang-orang Yahudi meyakini bahwa penulis Kitab
Pengkhotbah adalah Salomo. Keyakinan ini terlihat dari berbagai
petunjuk. Penerjemah LXX sengaja meletakkan Kitab Amsal, Pengkhotbah dan
Kidung Agung setelah Mazmur dengan pertimbangan bahwa tulisan anak
(Salomo) sudah seharusnya mengikuti tulisan bapak (Daud).[5]
Tradisi Yahudi secara eksplisit menyatakan bahwa Salomo adalah penulis
dari Kitab Pengkhotbah (Megilla 7a dan Shabatth 30).
Sumber kerabian yang lain bahkan menjelaskan bahwa Kitab Kidung Agung
ditulis Salomo waktu ia masih muda karena menekankan cinta, Kitab Amsal pada
usia menengah ketika menghadapi berbagai problem praktis kehidupan,
Kitab Pengkhotbah pada waktu usia lanjut.[6]
C. Tafsir Kitab Pengkhotbah 3 &
Aplikasinya.
1 Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk
apapun di bawah langit ada waktunya.
“Masa”
diterjemahkan dari zeman yang mulai
banyak dipakai sesudah pembuangan, dan menjadi istilah umum pada zaman pasca PL
(bnd. Ind. : “zaman” yang berasal dari bahasa Arab). “Waktu” diterjemahkan dari
et. Istilah ini yang umumnya
dipergunakan dalam PL. LXX menerjemahkan zeman
sebagai kairos dan et sebagai khronos. Maknanya sama, tidak seperti yang kita baca dalam beberapa
buku teologi yang mempertentangkan keduanya dan memfavoritkan kairos. Hefets dapat berarti “apa-apa”, “hal-hal”, “pengalaman”. Saya pilih
“peristiwa”, “kejadian” (affair)
karena cocok dengan konteks kejadian-kejadian yang disebut dalam perikop.
Tetapi dalam konteks lain, dalam Kitab Pengkhotbah, artinya bisa “keinginan”,
“hasrat”, “kesenangan”, “kesukaan (preferensi)”. BIS-LAI menafsirkan : “segala
sesuatu di dunia ini terjadi pada waktu yang ditentukan Allah”. Kemudian
BIS-LAI menegaskan lagi hal ini dengan setiap kali menyisipkan “Allah” dalam
ayat-ayat berikutnya mengenai waktu-waktu (ay.2,4,6,8).[7]
Ayat ini
menjelaskan bahwa, untuk segala sesuatu ada waktunya, mungkin penulis kitab
pengkhotbah, yang bernama Raja Salomo, ingin memberitahukan kepada pembaca
kitab Pengkhotbah, bahwa kita harus menggunakan setiap waktu kita dengan
bijaksana Karena Raja Salomo menulis kitab ini pada saat lanjut usia, dan dia
sudah mempelajari banyak hal di dalam setiap kehidupannya sebagai Raja yang
mempunyai hikmat paling tinggi. Raja Salomo menginnginkan kita, supaya kita
dapat menghargai waktu yang ada, terutama dalam usia yang masih produktif
(±20-45th). Sehingga dalam usia yang masih produktif dapat memaksimalkan waktu
yang ada untuk digunakan dengan bijaksana dan cerdas, karena segala sesuatu ada
waktunya dapat berarti, ada waktu kita bekerja (usia produktif), ada waktu
untuk pensiun. Dan dalam ayat-ayat berikutnya, Raja Salomo menjelaskan kembali
maksudnya.
Untuk kata “di
bawah langit” yang dalam KJV dan ASV artinya “under the heaven”, mungkin Raja
Salomo menjelaskan bahwa arti kata tersebut adalah, menuju kepada
ketidak-kekalan, karena surga atau heaven adalah tempat dimana Allah berada,
yang berarti tempat itu, adalah tempat yang kekal.[8] Jadi
kita harus menggunakan waktu dengan baik, karena hidup di dalam dunia hanya
sementara (tidak kekal), dan nantinya kita akan menuju kekekalan, baik
kehidupan yang kekal, maupun kematian yang kekal.
2 Ada
waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada
waktu untuk mencabut yang ditanam;
Di sini dikemukakan pertentangan antara melahirkan – mati, yang
diparalelkan dengan menanam – mencabut. Yang pertama dapat dikenakan pada
konteks manusia dan binatang, yang kedua pada konteks pekerjaan menanam.
Pengamatan yang pertama ini bersifat umum. Ada yang merasa bahwa laledert “melahirkan” tidak cocok untuk
dijadikan padanan dengan “mati”, oleh karena itu mengusulkan “lahir” (lih.
TB-LAI) atau “dilahirkan” (RSV dan NEB). Di pihak lain, semua terjemahan kuno
mengikuti MT. Di zaman ketika orang menjadi sensitif terhadap sudut pandang
perempuan, tidak ada satu pun penafsir yang membayangkan bahwa “melahirkan”
berkaitan khusus dengan perempuan, sebab bukankah hanya perempuan yang bisa
melahirkan? Bukan itu saja. Di zaman dahulu melahirkan adalah sesuatu yang amat
berisiko tinggi. Si ibu bisa meninggal karena pendarahan. Di samping pengamatan
yang bersikap umum, saya kira kita juga perlu terbuka pada pengamatan yang
bersifat khusus. Tidak “melahirkan” tidak cocok dengan “mati” dan bermakna
“memberi kehidupan”, barangkali lamut
bukan berarti “mati” tertapi “mengakhiri kehidupan” alias “bunuh diri”?
Begitulah pendapat J. Blenkinsopp yang mencatat bahwa dalam etika filsafati
dari orang Stoa, bunuh diri tidak diangga negatif, bahkan bisa dianggap sebagai
“noble death”. Di jepang juga ada pendapat yang sama, yang praktinya bernama
“seppuku”. Nah, menurut Blenkinsopp pasal 3:1-8 itu sebuha pandangan Stoa yang
dikomentari oleh Kohelet di dalam pasal 3:9-22. Isi dari perikop ini tentunya
tidak memberi penilaian yang menyetujui atau mencela bunuh diri. Tetapi pasal
7:17jelas mengkritik orang yang mau mati sebleum waktunya, dan menurut saya
sleuruh uraian Kohelet pada dasarnya mau memberi kiat atau kebijakan kepada
manusia, bagaimana hidup di bawah bayang-bayang maut dan bukan mengenai kapan
dan bagaiman manusia mengakhiri hidupnya.[9]
3 ada
waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak,
ada waktu untuk membangun;
Membunuh –
menyembuhkan, diparalelkan dengan membongkar-membangun. “membunuh” diambil dari
harog. Apparatus criticus BHS
mengusulkan harof, “merusak”, atau haros, “melukai/menyakiti”, mungkin
untuk menyesuaikan dengan paralelnya pada ayat 3b yang berisi pertentangan
membongkar-membangun. Tetapi menurut saya tidak perlu. “menyembuhkan” dari repo, yang akar katanya rafah (rofe berarti “penyembuh” atau “tabib”). Yang pertama dapat
dikenakan pada konteks pemeliharaan binatang ternak. Yang sakit parah dan tidak
mungkin sembuh tentu dibunuh, sedangkan yang masih punya harapan tentu akan
disembuhkan. Yang kedua dapat dikenakan pada konteks pembangunan dan
pembongkaran rumah atau gedung. Tetapi pertentangan yang pertama juga bisa
dikenakan pada konteks manusia. Memang terdengar kejam, tetapi dari dulu sampai
sekarang manusia bisa berbuat dua hal yang bertentangan itu. Pengamatan masih
tetap umum.[10]
Menurut Penulis,
untuk konteks pertama dengan kata “membunuh”, terdengar kata-katanya sangat
kejam, bahwa ternyata membunuhpun ada waktunya. Seandainya dalam konteks
pemeliharaan binatang ternak, mungkin itu bukan suatu masalah yang besar,
karena zaman sekarang pun, untuk ternak yang terkena penyakit, seperti penyakit
sapi gila, flu burung, seharusnya dibunuh, kecuali apabila binatang ternak
tersebut ada harapan untuk disembuhkan. Tetapi untuk konteks manusia, hal ini
sangat kejam, apabila kita melihat juga dalam zaman sekarang, bagi mereka yang
tidak berperikemanusiaan terlihat sangat biasa untuk membunuh, karena manusia
banyak sekali yang sudah terbiasa untuk membunuh. Hal ini dapat kita lihat
dalam berita-berita di televisi.
4 ada
waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada
waktu untuk menari;
Di
sini pengamatan menjadi lebih khusus, yaitu menyoroti pertentangan-pertentangan
dalam pengalaman manusia. Menangis – tertawa, diparalelkan dengan meratap –
menari. Yang pertama konteksnya adalah lingkup reaksi emosional manusia,
sedangkan yang kedua koteksnya adalah lingkup reaksi fisik berupa gerak tubuh.
Orang yang menangis akan meratap sedang orang yang tertawa akan menari. Di
dalam lingkungan masyarakat Jawa, orang bisa menangis dan tertawa, meskipun
agak ditahan-tahan. Pengungkapan emosi sedapat mungkin dibatasi. Apalagi reaksi
berupa gerak tubuh. Di jawa saya hampir tidak pernah menyaksikan orang meratap,
yang meraung-raung sambil membanting-bantingkan tubuh atau memukul-mukul tanah.
Melihat orang yang menari-nari kegirangan juga hampir tidak pernah. Kedua
reaksi fisik inibagi orang jawa dianggap negatif sebagai perbuatan
kekanak-kanakan. Tetapi di Timur Tengah (dan Indonesia Timur) justru dianggap
wajar dan pada tempatnya.[11]
Dari
ayat-ayat sebelum dan sesudah ini, pengkhotbah 3:1-8 ini mempunyai pola yang
sama, penulis mengkelompokan hal tersebut sebagai, ada waktu untuk hal yang
menyusahkan, ada waktu untuk hal yang menyenangkan. Dalam ayat ini hal yang
menyusahkan adalah menangis dan meratap, sedangkan hal yang menyenangkan adalah
tertawa dan menari. Kita belajar bahwa pola ini ternyata juga berlaku bagi
dunia, yaitu ada saat susah, ada saat senang. Bahkan di Bangsa kita, juga ada
peribahasa “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian”. Yang berarti ada waktunya nanti kita
menikmati dari semua hasil jerih payah kita.
5 ada
waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk
memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
Melontarkan
batu – mengumpulkan batu, dipararelkan dengan memeluk – tidak memeluk.
Kelihatannya tidak mulus ! Menentukan konteks yang pertama juga tidak mudah. Di
dalam 2 Raja-raja 3:19, 25 pasukan yang menang membuang batu-batu ke
ladang-ladang sehingga tidak produktif lagi. Konteksnya adalah peperangan. Pada
masa damai, batu-batu tersebut diambil atau dikumpulkan lagi. Kemungkinan lain
adalah konteks pengumpulan batu-batu dalam usaha mendirikan rumah di Palestina,
yang semuanya dari batu. Bisa juga dipikirkan konteks perdagangan. Batu-batuan
(kecil) dipakai sebagai alat bantu menghitung, seperti sempoa pada toke-toke
tionghoa. Tetapi apa kaitannya dengan melempar dan mengumpulkannya tidak jelas.
Mungkin bukan sebagai kalkulator tetapi sebagai alat undi? Kedua konteks ini
tidak cocok dengan konteks 5b yang jelas merujuk pada orang yang bermesraan dan
tdaik bermesraan, entah anggota keluarga, sahabat baik ataupun kekasih. Salah
satu tafsiran para rabbi yaitu Midrasy
Rabbah mengartikan pertentangan pertama sebagai metafor untuk hubungan
seksual. Melontarkan batu maksudnya bersetubuh, sedangkan mengumpulkan batu
maksudnya berhenti/tidak bersetubuh. Saran ini diikuti oleh BIS-LAI : “waktu
untuk bersenggama dan waktu untuk pantang bersenggama”. Tidak berarti
masalahnya sudah beres. Di dalam PL tidak ada metafor yang demikian. Istilah
untuk bersetubuh biasanya adalah kata yada,
“mengenal”, seperti ketika Adam bersetubuh dengan Hawa di dalam Kejadian 4:1.
Kalau pendapat ini ditermia, ayat 5a menjadi satu-satunya metafor dalam uraian
puitis ini padahal yang lainnya tidak. Namun demikian, akhirnya saya cenderung
setuju dengan usul para rabbi ini. Di dalam agama Yahudi, seksualitas tidak
dianggap saru melainkan dipandang positif. Para rabbi misalnya memberi saran
pada suami-suami agar minimal 1 kali seminggu melakukan “tugas mulia” untuk
istri. Sebaliknya pada hari raya Yom Kippur (perdamaian), di malam harinya
orang dilarang melakukan hubungan seksual. Dengan demikian paralelnya dengan 5b
menjadi mulus. Ayat 5 jadinya merujuk pada hubungan intim. Itu pun ada
waktunya.[12]
Pada
zaman sekarang, untuk hubungan intim antara suami dengan istri, juga ada
batas-batas tertentu. Penulis mendapatkan informasi dari seorang dokter yang
pernah membawakan seminar tentang “sex & kesehatan” di Gereja, mengatakan
bahwa untuk hubungan suami istri paling banyak tiga kali dalam seminggu, bahkan
apabila bisa dibawah itu. Dikarenakan kesehatan dari suami dan istri, juga
dalam berhubungan intim, kedua peran harus dalam dalam kondisi tubuh yang fit, dan sehat. Karena dalam berhubungan
intim juga menyita tenaga yang lebih. Pada waktu tertentu, sang istri tidak
dapat melayani sang suami, dikarenakan kehamilan. Jadi pada saat kehamilan 9
bulan-pun ada waktunya, tepatnya pada hamil ke-3 bulan, bagi suami-istri dianjurkan
oleh dokter supaya tidak melakukan hubungan intim, dikarenakan pada masa itu
adalah masa yang rentan. Jadi suami-pun ada saatnya harus menahan selama 3
bulan. Jadi dalam berhubungan intim-pun juga ada waktunya.
6 ada
waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk
menyimpan, ada waktu untuk membuang;
Pertentangan
mencari – membiarkan hilang diparalelkan dengan menyimpan-membuang. “mencari”
dari lebaqqesy, karena itu tidak
mungkin berarti “menemukan” seperti di BIS-LAI yang mau memuluskan pertentangan
di ayat 6a. TB-LAI sudah menafsirkan le’abed
sebagai berlatar belakang perdagangan, “membiarkan rugi”. Kalau begitu
“mencari” maksudnya “mencari untung”. Ayat 6b juga bisa ditempatkan pada
konteks yang sama. Tetapi konteks lain masih bisa dibayangkan juga, misalnya
konteks barang hilang di rumah. Mula-mula giat dicari, tetapi setelah tidak
menemukannya, direlakan saja. Menyimpan dan membuang bisa juga dikenakan pada
konteks rumah tangga.[13]
7 ada
waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri,
ada waktu untuk berbicara;
Pertentangan
merobek-menjahit diparalelkan dengan berdiam-berbicara. Yang pertama biasanya
berhubungan dengan orang yang sedang menjahit, atau mungkin juga tukang jahit.
Jadi dalam menjahit, ada waktu untuk merobek untuk membuang kain-kain yang
tidak perlu, ada juga waktu untuk menjahit kembali supaya menjadi satu pakaian.
Dari
dunia Asia barat Daya kuno maupun dalam PL, diketahui bahwa orang yang bersedih
atau berkabung selalu merobek-robek pakaiannya sebagai tanda berduka cita.
Setelah masa perkabungan selesai, robekan itu dijahit kembali (oleh karena itu,
jangan terlalu banyak yang dirobek, cukup satu robekan saja!). kalau konteksnya
adalah perkabungan, maka ayat 7b juga cocok dimasukkan ke situ. Orang yang
berkabung akan banyak berdiam. Nanti sesudah masa perkabungan selesai baru dia
berbicara lagi.[14]
8 ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk
membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.
Dalam ayat ke-8, lebih ke-arah sifat
manusia, bahwa ada waktu untuk mengasihi dan juga ada waktu untuk membenci.
Sering terjadinya konflik antar manusia, karena adanya “gesekan”, sehingga membuat
mereka yang tadinya saling mengasihi, bisa saling membenci. Mungkin hal itu
disebabkan salah paham, beda pendapat, dan tidak ada yang mau mendengarkan.
Bahkan seorang sahabat atau sepasang manusia yang sedang berpacaran yang
tadinya begitu dekat dan saling mengasihi, dapat saling membenci hanya dalam
waktu yang singkat, dan mungkin kebencian itu juga terus menerus dipendam,
sehingga yang tadinya saling mengasihi, sekarang saling membenci, dan tidak
bertemu lagi. Mungkin memang tidak berniat untuk membenci tetapi inilah sifat
manusia yang mempunyai ego tinggi,
sehingga tidak ada yang ingin berdamai.
Untuk ayat 8b, dalam konteksnya, zaman
pada perjanjian lama, adalah zaman yang lebih banyak perang, mungkin zaman
Salomo adalah zaman damai, tetapi dari cerita turun-menurun banyak bangsa yang
perang untuk memperebutkan suatu daerah. Dalam perang-pun ada waktu dimana
harus berdamai, mungkin disebabkan lawan mempunyai jumlah tentara yang lebih
banyak, sehingga seorang raja harus memutuskan untuk berdamai, karena apabila
perang terjadi, kemungkinan besar raja tersebut akan kalah, Seperti dalam Luk 14:31 Atau,
raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk
dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi
lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jadi ada waktu untuk berdamai, ada juga waktu
untuk perang.
9 Apakah
untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?
Ide pasal 1:3 ini, diungkapkan kembali
oleh Raja Salomo, untuk mempertegas kepada pembaca, bahwa apa untungnya manusia
untuk berjerih payah dibawah matahari? Karena baginya semua itu adalah
kesia-sia’an belaka, bahkan Raja Salomo pernah mengungkapkan hal ini seperti
menjaring angin (Pkh.2:11) yang berarti, bahwa apa yang sudah dilakukannya
selama ini tidak ada keuntungan. Dia juga berkata bahwa orang seperti ini,
adalah orang yang hidupnya penuh kesedihan dan pekerjaannya penuh kesusahan
hati, bahkan pada malam harinya tidak tentram (Pkh.2:23). Jadi bagi Raja Salomo,
apa untungnya menjaring angin? (Pkh.5:16).
Mungkin sekilas dalam ayat ini terlihat
bertentangan dengan kitab Amsal 14:23, yang mengatakan bahwa dalam tiap jerih payah ada keuntungan. Tetapi
yang dimaksudkan oleh Raja Salomo adalah mungkin seperti dalam kitab Matius
16:26 yang mengatakan, Apa gunanya
seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang
dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? Maksudnya adalah orang yang
hanya bekerja dan berjerih payah dalam pekerjaannya, adalah orang yang
menyia-nyiakan hidupnya, karena dia tidak dapat menikmati hasil dari jerih
payah tersebut. Jadi apa gunanya seorang memperoleh seluruh harta, dunia, istri
banyak tetapi kehilangan kehidupan kekal (nyawanya). Karena apa yang dibawah
langit (under heaven) adalah sementara. Jadi Raja Salomo menginginkan kita,
supaya jangan selalu mengejar yang dibawah langit (tidak kekal), tetapi
mengejar surga yang kekal.
10 Aku
telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk
melelahkan dirinya.
Ayat ini juga sudah dikemukakan dalam
Pkh.1:13-14, bahwa semua pekerjaan yang dikerjakan oleh anak manusia adalah
hanya untuk melelahkan dirinya, sehingga sampai meninggal, anak manusia akan
bersusah payah untuk mencari makan. Mungkin saja Raja Salomo juga membaca kitab
kejadian pada saat menulis kitab ini, karena dalam kejadian 3:19 juga dikatakan
dengan berpeluh engkau akan mencari
makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau
diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu." Yang
berarti anak manusia akan bersusah payah dan bekerja sampai manusia kembali
menjadi tanah (meninggal). Jadi Raja Salomo melihat hal ini suatu kelelahan
yang tak berujung, karena dia sendiripun sudah mengalaminya dan di usianya yang
sudah lanjut (pada saat ia menulis kitab pengkhotbah usianya sudah lanjut),
Raja Salomo sudah mempunyai pengalaman dan dia juga termasuk orang yang
berjerih lelah dalam hidupnya.
11 Ia
membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan
dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang
dilakukan Allah dari awal sampai akhir.
Di
dalam ayat ini tidak ada persoalan tekstual. Yang menjadi masalah adalah
maknanya, yang ditentukan oleh bagaimana kita mengartikan kata olam dalam konteks ayat ini. Di 11a
dipakai kata yafe, “indah” bukan tob seperti di dalam kisah penciptaan.”indah”
adalah sebuah istilah estetis. Tob bisa
bermakna etis maupun estetis. Penggunaan yafe
tampaknya menunjukkan kedekatan Kohelet dengan pemahaman Yunani mengenai
kehidupan ini. Berarti kalau Allah yang membuat peristiwa-peristiwa tersebut di
atas terjadi pada waktunya, itu adalah indah. Hakkol dalam konteks di sini tidak berarti keseluruhan alam semesta
seperti di 1:2, dan yang dibicarakan juga bukan konteks penciptaan dunia
seperti di dalam Kejadian 1.[15]
Allah
membuat segala sesuatu indah pada waktunya, sesuai dengan polanya. Penulis
sudah menjabarkan sedikit di halaman 8, paragraf ke-1 mengenai pola. Jadi
segala sesuatu indah sesuai dengan pola yang sudah diterangkan oleh ayat 2-7.
Pola yang dimaksudkan adalah ada saat dimana hal itu menyusahkan, ada saat untuk hal yang menyenangkan. Cth :
·
Ada saatnya untuk belajar, ada saatnya untuk beristirahat.
·
Ada saatnya untuk menjaga apa yang dimakan, ada saatnya
untuk panjang umur dan melihat, serta menggendong cucu.
·
Ada saatnya untuk merintis Gereja, ada saatnya untuk
mendapatkan jemaat yang setia dan mempunyai Gereja yang besar.
·
Ada saatnya untuk bekerja, ada saatnya untuk menikmati lewat
pendapatan bulanan.
·
Ada saatnya untuk berkorban dalam melayani Tuhan, ada
saatnya kita menikmati keindahan dalam kekealan (surga).
Dan
masih banyak lagi contoh-contoh lainnya, jadi indah pada waktunya sesuai pola
yang dimaksudkan adalah, sesuatu yang menyenangkan dan dapat kita nikmati
setelah melewati masa-masa sulit dalam hidup, yang biasanya tidak disukai oleh
beberapa orang. Padahal hal yang menyusahkan ini adalah, hal dimana kita dapat
dibentuk untuk menjadi pribadi yang mempunyai karakter lebih baik lagi. Ironisnya,
manusia yang bahkan sudah sering mendalami Alkitab-pun tidak mengerti rencana
Tuhan ini, sehingga seringkali seorang manusia berusaha untuk menikmatinya
lebih awal, dan tidak dapat menikmati keindahan yang sudah Tuhan rencanakan
atau sediakan.
12 Aku tahu
bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati
kesenangan dalam hidup mereka.
Raja
Salomo menjelaskan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada menikmati
kesenangan, memang inilah hal yang paling disukai oleh manusia. Raja Salomo-pun
mengalaminya, karena dia sudah bersenang-senang pada masa mudanya, sehingga
pada usianya yang lanjut ini, dia sepertinya bertobat karena dari kitab
pengkhotbah ini berisi penyesalan dia di masa muda yang terlalu mementingkan
kesenangan. Seperti yang kita juga tahu bahwa dia memiliki tujuh ratus istri
dari kaum bangsawan dan tiga ratus gundik, dan bagi dia, istri-istrinya lebih
menarik hatinya daripada Tuhan (1Raj.11:3).
Raja
Salomo yang sudah lanjut usia memperingatkan bagi orang-orang yang membaca
kitab Pengkhotbah ini bahwa segala sesuatu adalah sia-sia, karena kenikmatan
yang didapatkannya hanyalah sementara, tidak kekal. Jadi dia sudah mengetahui
kesenangan tersebut dan menganjurkan kepada kita lewat kitab Pengkhotbah supaya
jangan menyia-nyiakan waktu yang ada, karena segala sesuatu indah pada
waktunya.
13 Dan
bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala
jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.
Dalam
ayat ini, menjelaskan bahwa setiap orang dapat menikmati kesenangan yang
sementara ini (under heaven), karena ini-pun dari Allah, apa-pun yang
didapatkan manusia adalah dari Allah. Jadi kita juga berhak untuk menikmati
hasil jerih payah dan hasil kerja keras kita selama ini. Tetapi semua harus
sesuai dengan polanya, yaitu harus melewati masa kesusahan terlebih dahulu untuk dapat menikmati kesenangan. Jadi kita dapat menikmati
hasil jerih payah kita, karena ini-pun Allah yang memberikan.
14 Aku
tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya;
itu tak dapat ditambah dan tak dapat dikurangi; Allah berbuat demikian, supaya
manusia takut akan Dia.
Perbuatan-perbuatan Allah akan
berlangsung terus-menerus (le’olam).
Kalau dilihat dalam konteks perikop, tentunya yang dimaksud adalah apa yang
kita baca pada ayat-ayat 1-8. Manusia tidak dapat menambah atau menguranginya.
Ungkapan ini dapat dimaksudkan untuk menunjukkan kedaulatan Allah yang mutlak.
Perbuatan manusia bisa ditambah atau dikurangi, perbuatan Allah tidak. Entah
suka atau tidak suka, mau atau tidak mau itu sudah demikian adanya. Di pihak
lain ungkapan mengenai sesuatu yang tidak bisa ditambah atau dikurangi juga
menunjukkan kesempurnaan karya Allah.[16]
15 Yang
sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Allah
mencari yang sudah lalu.
Pikiran yang ada di sini sudah
dikemukakan di 1:9. Yang baru adalah ungkapan weha’elohim yebaqqesy et nirdaf, “ dan Sang Allah mencari apa yang
sudah lalu/lewat”. BIS-LAI menafsir : “Allah menentukan supaya yang sudah
terjadi, terjadi lagi”. Nirdaf dilihat
sebagai peristiwa yang sudah lewat, yang dikejar oleh Allah dan dikembalikan
lagi ke masa kini. Sama dengan di 1:10 di sini juga mau diterangkan lagi
mengenai kemustahilan sesuatu yang baru. Mungkin itulah maksudnya. Kata nirdaf adalah niphal dari radaf, yang bisa berarti positif,
“mengikuti” atau negatif, “mengejar”. Radaf
bisa dilihat juga sebagai pararel dari biqqesy.
Mungkin karena perikop kita tidak mengandung pokok ini, dan masih harus
diperiksa apakah perikop yang menyusul. Juga mau mengemukakan penyelamatan
Allah terhadap orang yang tertindas. Mungkin karena perikop ini tidak diakhiri
dengan ungkapan kesia-siaan dan mengejar angin.
16 Ada
lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situpun terdapat
ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situpun terdapat ketidakadilan.
Pasal
ini bukan mengalihkan pokok pembicaraan seratus persen, sebab gagasan tentang
waktu yang tidak dapat diubah serta kekuasaannya atas kita masih terdapat dalam
ay17. Tapi soal ketidakadilan demikian mencolok, sehingga tidak bisa dibiarkan
semata-mata sebagai bahan ilustrasi bagi tema itu. Soal ini diangkat untuk sementara
waktu menjadi soal tersendiri dalam ay, 4, dan selang-seling akan kembali dalam
pasal-pasal berikutnya. Tapi soal ini pertama-tama dilihat dalam rangka serta
perubahan-perubahan yang sekonyong-konyong dalam hidup, yang mendapat tekanan
utama dalam ps.3. Sebab, jika ada sesuatu yang berteriak untuk dirombak, itu
adalah ketidakadilan. Di sini akhirnya kita menemukan keuntungan nyata dari
perubahan dan liku-liku kehidupan kita. Fakta, bahwa segala sesuatu di dunia
adalah musiman, menjanjikan pada kita bahwa suatu ketika kelak akan berakhir
masa kejahatan dan ketidakadilan yang berkepanjangan itu. Ini menguatkan
keyakinan moral yang murni, bahwa Allah menghendaki keadilan, dengan pikiran,
untuk mana, seperti untuk segala hal, Ia sudah menetukan waktunya yang tepat.[17]
17
Berkatalah aku dalam hati: "Allah akan mengadili baik orang yang
benar maupun yang tidak adil, karena untuk segala hal dan segala pekerjaan ada
waktunya."
Makna
dari syam. Terjemahan-terjemahan kuno
seperti T,V,S mengartikannya sebagai menunjuk pada dunia atau zaman yang akan
datang. Gordis mengikuti pendapat ini, dan mengaitkannya dengna kata barar, “menguji”, “memurnikan” pada ayat
18. Allah menghakimi, tetapi belum sekarang, oleh karena Allah sedang menguji.
“di sana” menurut Gordis adalah di she’ol, dunia orang mati. Beberapa penafsir
dari generasi tua, mengusulkan agar syam
diubah sedikit menjadi sam,
“menentukan”. Jadi, meskipun sekarang tidak ada proses pengadilan yang baik,
pada waktunya yang ditentukan oleh Allah, Dia sendiri akan mengadili.[18]
Jadi, Allah akan mengadili pada saatnya nanti, bukan sekarang. Sekarang kita
sedang di proses, diuji untuk kehidupan kekal nantinya, dan sebelum masuk ke
kehidupan kekal, nantinya kita diadili terlebih dahulu.
18 Tentang
anak-anak manusia aku berkata dalam hati: "Allah hendak menguji mereka dan
memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka hanyalah binatang."
Lebaram berasal dari barar, “menguji”, “memurnikan”. Berarti Allah sedang menguji mereka
terlebih dahulu, tetapi ada perkataan yang terlihat sinis, yaitu manusia
disamakan dengan binatang. Dalam bahasa aslinya, kata “binatang” adalah behemah, yaitu binatang ternak yang
besar-besar seperti sapi (atau kerbau dalam konteks Asia Tenggara). Jadi yang
mau ditunjukkan adalah bayangan sapi yang berjalan bolak-balik menarik pedati
atau membajak di padang/sawah, tanpa tujuan dan tanpa makna. Jadi, yang
disamakan adalah pekerjaan si sapi,
yang dapat dibandingkan dengan pekerjaan, usaha dan jerih payah si manusia yang
juga tanpa makna dan tujuan, karena bagaimanapun juga, manusia dan binatang
berbeda.
19 Karena
nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa
mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya
mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang,
karena segala sesuatu adalah sia-sia.
Di sini nasib manusia disamakan dengan
binatang, juga keduanya mempunyai nafas yang sama. Nasib disini adalah miqre, yaitu kematian. Sedangkan untuk
kata nafas adalah ruakh. Dalam kisah
penciptaan dalam Kejadian 2:7 Tuhan meniupkan napas hidup ke dalam hidung
prototipe manusia dari tanah lempung, dan hasilnya jadilah mahluk hidup yang
disebut ha’adam. Tetapi istilah yang
dipakai untuk napas bukan ruakh
melainkan nesyamah. Jadi dalam kisah
penciptaan, binatang tidak pernah disebut mendapat napas dari Tuhan. Hanya
manusia saja yang demikian.[19]
Jadi yang disamakan adalah bahwa manusia
dan binatang sama-sama akan mati (secara fisik), dan sama-sama bernafas, tetapi
ada perbedaan karena manusia diberi nafas (nesyamah)
secara langsung dari Tuhan, sedangkan binatang tidak. Jadi bukan berarti
manusia adalah sama dengan binatang secara keseluruhan. Itulah sebabnya penulis
kitab pengkhotbah berkata pada akhir di ayat ini adalah bahwa segala sesuatu
adalah sia-sia, pada akhirnya manusia-pun juga akan meninggal seperti binatang.
20
Kedua-duanya menuju satu tempat; kedua-duanya terjadi dari debu dan
kedua-duanya kembali kepada debu.
Kata
tempat disini adalah maqom. (Dalam
bahasa indonesia berarti “makam” yang berasal dari bahasa Arab). Tentunya
kuburan manusia berbeda sekali dengan kuburan binatang, karena manusia umumnya
merawat kuburannya sedemikian rupa sehingga menjadi cantik dan bagus, bahkan
ada beberapa tempat kuburan di Indonesia yang sangat mahal dan yang termurah di
tempat itu mencapai Rp.8.000.000,-[20].
Kuburan ini bernama San Diego Hills yang berada di Karawang, Jawa Barat.[21]
Jadi sangat berbeda sekali dengan kuburan binatang, yang bahkan kadang-kadang
binatang tidak memiliki kuburan, sehingga banyak yang mati di tengah jalan dan
membusuk di sana. Jadi yang menjadi masalah adalah bukan lokasinya, tetapi pada
saatnya nanti, baik itu manusia ataupun binatang, akan kembali menjadi debu
(meninggal).
21
Siapakah yang mengetahui, apakah nafas manusia naik ke atas dan nafas
binatang turun ke bawah bumi.
Kata nafas disini berarti ruakh, yang dapat berarti juga roh.
Dalam BIS-LAI diterjemahkan sebagai roh dalam ayat ini. Saya setuju apabila
dipakai kata “roh”, karena dengan ini jadi dapat dimengerti bahwa pada akhirnya
roh manusia akan naik ke atas (surga. Manusia selalu menganggap surga itu
berada di atas) dan roh binatang itu turun ke bawah bumi. Binatang tidak
seperti manusia yang merupakan mahluk
ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Karena manusia mempunyai roh, jiwa dan
tubuh. Dan tentunya manusia mempunyai akal budi.
22 Aku melihat bahwa tidak ada
yang lebih baik bagi manusia dari pada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu
adalah bahagiannya. Karena siapa akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan
terjadi sesudah dia?
Pikiran yang sudah muncul dalam 2:10
diangkat kembali. Kalau manusia dan binatang sama-sama hidup di bawah
bayang-bayang maut, dan bahwa bayang-bayang maut ini membuat perbedaan esensial
di antara mereka berdua menjadi relatif, maka tidak lain yang bisa dibuat
sekarang oleh manusia adalah bergembira, karena itulah porsinya. Heleg berupa kegembiraan di dalam jerih
payah.[22] Saya lebih setuju menggunakan terjamahan
BIS-LAI, Sebab itu aku menyadari bahwa
tidak ada yang lebih baik bagi manusia daripada menikmati hasil kerjanya.
Selain itu tak ada yang dapat dilakukannya. Tak mungkin ia mengetahui apa yang
akan terjadi setelah ia mati. Jadi kita pun juga berhak mendapatkan
kebahagiaan lewat pekerjaan yang kita lakukan sendiri oleh jerih payah kita
sendiri, bahkan Rasul Paulus dalam 2 Tes.3:10 mengatakan "Orang yang tidak
mau bekerja, tidak boleh makan." Jadi orang yang tidak mau bekerjalah yang tidak dapat menikmati
hasil pekerjaannya, tetapi orang yang mau bekerja dapat menikmati hasil dari
pekerjaannya, yang biasa kita sebut dengan “gaji”. Dan semua itu dapat kita lakukan
pada saat kita masih berada di dunia yang fana ini, karena kita tidak bisa
membawa seluruh hasil pekerjaan kita, pada saat kita meninggal. Jadi selama
masih di dunia kita boleh menikmati hasil pekerjaan kita sendiri. Tentunya
apapun yang kita lakukan, juga untuk
kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus.
D. Kepustakaan
a)
Buku
1. Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., Hidup Di Bawah Bayang-Bayang Maut-Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah.
(Jakarta:PT.BPK Gunung Mulia, 2002)
2. Derek Kidner, Seri Pemahaman Dan Penerapan Amanat Alkitab
Masa Kini (Jakarta: Yayasan komunikasi
Bina Kasih/OMF, 2005)
3. Pdt. Nathanel Wattileo,S.Th, D.Min, Tafsir PL II – Yosua, Rut, Samuel, Raja-raja, Nehemia, Ayub, Mazmur,
Amsal, Pengkhotbah. (Jakarta:Makalah Kalangan Sendiri)
4. Departemen Pendidikan Nasional Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat. (Jakarta:Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008)
5.
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab. Jakarta: LAI, 1996.
b)
Media Elektronik (Internet, Software)
1.
E-Sword – the Sword of the Lord with an electronic edge
2.
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/BIB-PPL2_23_Pengkhotbah.pdf
3.
http://www.sandiegohills.co.id
4. http://news.okezone.com/read/2010/01/02/337/290322/makam-termurah-di-san-diego-hills-rp8-juta.
--==OoOo(Jesus
Bless You)oOoO==--
[1]
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/BIB-PPL2_23_Pengkhotbah.pdf
[2] Pdt. Nathanel Wattileo,S.Th, D.Min, Tafsir PL II – Yosua, Rut, Samuel, Raja-raja, Nehemia, Ayub, Mazmur,
Amsal, Pengkhotbah. (Jakarta:Makalah Kalangan Sendiri), 75.
[3] Jack P. Lewis, “Qahal”, TWOT Vol. II, ed. by R. Laird
Harris, Gleason L. Archer, Bruce K. Waltke (Chicago: Moody Press, 1980),
789-780.
[5] R. K. Harrison, Introduction to the Old Testament (Peabody:
Prince Press, 1999), 1073.
[7] Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., Hidup Di Bawah Bayang-Bayang Maut-Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah.
(Jakarta:PT.BPK Gunung Mulia, 2002), 59.
[8] Departemen Pendidikan Nasional Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat.
(Jakarta:Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm.237. kekal a
abadi, abid, baka, baki, daim, langgeng, langsung, lestari, molar,
permanen, selama-lamanya, sinambung, terus, tetap.
[9] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D., 60.
[10] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D., 60.
[11] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D., 61.
[12] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D., 62.
[13] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D., 62
[14] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D., 63.
[15] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D., 64.
[16] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D., 70.
[17] Derek Kidner, Seri Pemahaman Dan Penerapan Amanat Alkitab Masa
Kini (Jakarta: Yayasan komunikasi
Bina Kasih/OMF, 2005), 46.
[18] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D., 76.
[19] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D., 78.
[20] http://news.okezone.com/read/2010/01/02/337/290322/makam-termurah-di-san-diego-hills-rp8-juta.
Pemakaman San Diego Hills yang terletak di Karawang, jawa Barat, menjadi tempat
pemakaman yang cukup menjadi pilihan masyarakat. Pasalnya, suasana di pemakaman
disana, terkesan jauh dari istilah angker. Namun, tempatnya yang bagus juga
berdampak kepada harganya. Untuk ukuran makam termurah seluas 1,5 meter x 2,6
meter, harga di San Diego Hills mencapai Rp8 juta.
[21] http://www.sandiegohills.co.id/
[22] Opcit, Pdt. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D., 80.
No comments:
Post a Comment